Beberapa ratus meter dari titik penelusuran terakhir, lembahan sungai kembali menjadi rintangan pertama. kotak-kotak pertanian lahan basah yang menurun, mengarah ke dasar Ci Mahi. Di sepanjang bentangan patahan, barangkali, morfologi Ci Mahi inilah bukti pergerakan patahan yang paling kasat mata. Semula alirannya mengarah ke selatan, kemudian terdorong pergerakan patahan hingga berbelok ke barat, lalu kembali mengarah ke selatan menyesuaikan dengan kontur alam. Bentuknya lebih jelas ketika dilihat dalam peta ataupun google maps, arah alirannya tampak bergeser sekira 200 meter ke barat.
SPN Cisarua sudah lewat, kami akhirnya sampai di Desa Jambudipa, sementara itu bidang patahan semakin tak kelihatan. Untunglah, dalam peta yang kami bawa telah dibuat garis bantu yang menunjukkan arah patahan. Medan semakin bergelombang, sedangkan badan sudah sangat lelah berjalan. Kenampakkan di lapangan rasanya kabur, lembah-lembah menghadang ditengah kelelahan. Beberapa kali kami salah menentukan arah tujuan. Menelusuri koordinat dengan bantuan peta kompas rasanya sudah tak lagi efektif. Ditengah kebingungan itu, toponimi dalam peta jadi solusi. Praktisnya, toponimi adalah nama tempat.
Kami pun mulai membaca peta, mengikuti garis bantu yang telah dibuat sebelumnya: kampung mana saja yang dilewati garis tersebut. Lalu bertanya pada penduduk setempat jalan termudah untuk menuju kampung-kampung itu. Keluarlah nama-nama seperti Cibayan, Pasirjeungjing, Pasirlangu, Cimanggu. Dengan cara seperti itulah kami akhirnya tiba di Desa Ngamprah Kaler, Padalarang, ujung paling barat Patahan Lembang.
Sore itu hujan kembali turun, kami terus berjalan mengikuti garis patahan yang memotong jalur kereta api Padalarang-Purwakarta, menerobos (ngolong) penggalan jembatan tol Cipularang sekitar km 122, lalu tiba di lokasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang masih dalam tahap pengerjaan. Itulah ujung paling barat Patahan Lembang, garis finis, titik akhir penelusuran. Konon ujung barat ini merupakan titik pertemuan dengan ujung timur Patahan Cimandiri yang jauh lebih panjang lagi!
*****
Menelusuri jejak Patahan Lembang memberikan pengalaman nyata yang mengesankan. Menyaksikan beragam bentuk kehidupan di atasnya, melihat dan merasakan langsung bentangan Patahan Lembang bukan lagi sebagai ilustrasi abstrak dalam buku-buku pelajaran. Menganggapnya sebagai bom waktu adalah benar adanya. asalkan tak berlebihan, takut karenanya adalah wajar, tak takut karenanya juga sah-sah saja, yang masalah adalah ketika kita tidak waspada, abai dan tidak mempersiapkan diri ketika sewaktu-waktu terjadi bencana dari kondisi bumi yang memang demikian adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H