Sore hari yang hujan memaksa kami untuk berhenti di sebuah warung. Sungguh pas sekali. Warung itu berupa saung dengan atap jerami yang kelihatannya belum lama dibangun. Beberapa rombongan motorcross sedang beristirahat. Rombongan itu datang dari arah Cimenyan, menerabas ke utara lalu berputar di sekitar dinding patahan untuk kembali lagi ke arah yang sama. Setelah meminta ijin pada sang pemilik yang hendak pulang menjelang malam, hari itu kami memutuskan untuk menginap, mengistirahatkan badan yang mulai pegal-pegal.
Keesokan harinya penelusuran kembali dilanjutkan. Perjalanan terasa lebih cepat, jalur yang kami lewati cukup jelas karena merupakan jalur yang juga sering dilalui rombongan motorcross. Sialnya, justru itulah yang membuat kami terlena dan malas membuka peta. Kesialan itulah yang membawa kami melambung agak ke selatan dan baru tersadar ketika lewat Puncak Bintang (Bukit Moko). Di titik itu punggungan patahan berada sekitar 600 meter ke utara. Waduh! Peta pun kembali dibuka.Â
Diskusi kecil kemudian memutuskan bahwa kami harus kembali ke pertigaan terakhir. Setelah yakin telah berada di garis patahan, dengan sedikit menyesal, perjalanan pun kembali dilanjutkan. Melintasi Cihargem dan Tebing Keraton yang sedang ramai wisatawan. Setelah mendapat ijin melintas dari pengelola, mulailah kami menuruni lereng yang agak curam dengan semak belukar yang cukup rapat, kemudian melintasi Ci Kapundung hingga keluar di pintu masuk Tahura-Maribaya. Itulah titik penelusuran terakhir kami.Â
Dari sana, sisa garis patahan bukan lagi puncak-puncak sunyi yang indah dan sejuk, melainkan perkebunan dan pemukiman yang kian padat. Sehingga gaya trekking dan camping dianggap tak cocok lagi. Pulang dulu untuk recovery, mengevaluasi perjalanan, dan mengganti gaya penelusuran menjadi one day packing. Tanpa camping.
Segmen Barat, garis patahan yang kian padat
Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Maribaya, titik terakhir penelusuran sebelumnya. Bersama partner perjalanan yang berbeda, kami mulai berjalan untuk mencapai Gunung Batu (1338 Mdpl), salah satu tempat paling populer di sepanjang garis Patahan Lembang. Puncaknya merupakan pelataran cukup luas dan terbuka, seperti menara pandang yang sangat leluasa untuk mengamati alam Cekungan Bandung: Lereng timur Patahan Lembang yang curam, pegunungan utara Bandung yang tampak saling bergandengan, juga sisi selatan dan barat dengan kepadatan tata kota yang menarik dilihat pada malam hari. Sisa lava berumur +500.000 tahun ini juga sangat popular di kalangan pemanjat tebing, bagi mereka, dinding utara yang lebih dikenal dengan Tebing Cikidang adalah tempat berlatih yang menyenangkan.
Lewat Gunung Batu, jalur menjadi kian padat karena telah banyak bangunan dan perkampungan yang berdiri di atas bidang patahan, termasuk juga timbunan material pembangunan waterboom yang kabarnya sudah mengantongi ijin dan akan dibangun di sebelah baratnya. Objek-objek penting seperti Observatorium Boscha, SDN Pancasila, markas KOWAD juga berada di atas bidang patahan. Garis patahan kemudian memotong Jl Raya Lembang, menerus ke kampung panyairan dan komplek Villa The Peak yang mewah. Di beberapa perkampungan juga ditemukan beberapa rumah lebih dari dua lantai. Jika Patahan Lembang kembali bergerak, benarkah tempat-tempat itu akan mendapat guncangan hebat?
Sungai sungai kecil mengalir ke selatan, antara lain Ci Sungapan, Ci Hideung, Ci Beureum dan Ci Waruga, kemudian memotong bentangan patahan, menciptakan lembah-lembah yang cukup dalam. Lembah yang mau tak mau harus kami lewati. Dengan kondisi demikian, cukup berat untuk tetap berjalan di atas bidang patahan. Terkadang harus melambung sedikit memotong lembahan, berharap menemukan medan penyebrangan yang lebih mudah. Sore itu, hujan turun cukup deras ketika kami sampai di Parongpong dan memutuskan untuk menyudahi perjalanan hari itu.
Sekitar dua minggu kemudian penelusuran kembali dilanjutkan. Udara daratan tinggi Bandung yang segar menyambut kedatangan kami. Di sebelah utara, langit biru yang cerah menampakkan wajah Gunung Burangrang. Sesekali angin berhembus agak kencang, memberikan sensai damai menentramkan. Di atas puncak patahan, kelompok-kelompok permukiman berselang seling dengan petak-petak perkebunan. Selain itu, beberapa komplek tower pemancar radio dan TV lokal maupun nasional nampak hadir diantaranya.