Mohon tunggu...
Angga R Direza
Angga R Direza Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni Geografi UPI

Belajar bermain

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ngamumunggang, Menelusuri 29 Kilometer Puncak Patahan Lembang

11 April 2020   11:18 Diperbarui: 5 April 2022   23:08 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
arah pandang ke barat, bentangan Patahan Lembang dilihat dari Kampung Batuloceng (Kamera Drone)

Jika tak bisa petakilan, mari jalan-jalan lewat tulisan. Catatan dari perjalanan November 2019.

Patahan Lembang kembali hangat diperbincangkan. Apalagi setelah penelitian terbaru menunjukkan garis patahannya membentang sepanjang 29 kilometer--lebih panjang 7 kilometer dari penelitian sebelumnya--yang mengindikasikan bahwa patahan tersebut dapat menghasilkan gempa berkekuatan Magnitudo 6.5-7. Patahan yang terakhir kali menghasilkan gempa pada abad 15 ini memiliki periode ulang pergerakan setiap 170-670 tahun, artinya saat ini adalah waktu-waktu dimana gempa Patahan Lembang bisa terjadi kapan saja.

Berdasarkan fakta ilmiah itu pula, agaknya, banyak orang memandang Patahan Lembang sebagai sebuah ancaman, bom waktu yang saat ini bisa meledak kapanpun. Sementara itu, ada pula mereka yang --entah sadar atau tidak- justru membuat tempat-tempat  wisata dan mendirikan berbagai macam bangunan di sekitar bidang patahan. Di sisi lain, proses geologi yang telah berlangsung beribu-ribu tahun juga telah menghasilkan bentang alam yang demikian menakjubkan. Siapa yang tak tahu Tebing Keraton? The Lodge? Curug Maribaya? Atau Tahura? Siapa tak tahu Gunung Batu yang keterjalannya sangat dikenal dikalangan pemanjat tebing?

Apapun kenyataannya, pada akhirnya itulah yang menuntun saya dan beberapa kawan untuk menelusuri Patahan Lembang secara keseluruhan sepanjang 29 Kilometer.

Segmen Timur, puncak-puncak sunyi yang indah dan sejuk

Kami memulai penelusuran dari Palintang, yang merupakan daerah paling utara di wilayah Kabupaten Bandung. Kondisi tersebut membuatnya sedikit terisolasi dari wilayah administratifnya sendiri, Palintang memiliki jarak tempuh yang justru lebih dekat ke kantor ibukota wilayah tetangganya seperti Kabupaten Bandung Barat (KBB), Kota Bandung ataupun Kota Cimahi. Ya begitulah, hal semacam itu juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain, dimana kondisi geografis tak selaras dengan kondisi administratif.

Dari tempat bernama Gunung Kasur diantara puncak Gunung Bukittunggul dan Gunung Palasari kami memulai perjalanan. Titik pertama yang akan kami tuju adalah Puncak Palasari (1859 Mdpl). Matahari sudah agak tinggi, sorotnya seolah menghujam tubuh kami yang berjalan kepanasan diantara ladang-ladang yang tak lagi terurus. Tak berapa lama kemudian tegakkan pohon-pohon tinggi mulai kami lewati, semakin lama semakin rapat, suasana terik nan menyiksa pun seketika berubah teduh. Angin gunung yang lembut dan menyejukkan sesekali membelai tubuh yang mulai berkeringat.

Suasana Kampung Gunungkasur, Palintang, Kabupaten Bandung
Suasana Kampung Gunungkasur, Palintang, Kabupaten Bandung

Makin lama jalur semakin menanjak. Sesekali berhenti untuk menandai lokasi lewat GPS. Ditengah momen-momen kelelahan, selain beristirahat, biasanya dimanfaatkan untuk mencoba membulak-balik potongan peta sambil memperkirakan di titik mana kami berada. Satu setengah jam kemudian kami akhirnya tiba di Puncak. Menurut pembacaan pada peta, disinilah titik  paling tinggi di garis Patahan Lembang. Berdasarkan beberapa literatur, puncak Palasari merupakan sebuah punden berundak: peninggalan kebudayaan megalitik berupa pelataran yang bertingkat-tingkat. Namun, kondisinya tak sebaik apa yang dikatakan di beberapa catatan, cenderung kurang terawat dan hilang di beberapa bagian. Di titik ini garis patahan masih mengular panjang. Tak lama beristirahat, situs itu pun kami tinggalkan untuk terus melanjutkan perjalanan.

Selepas puncak, jalan mulai agak menurun, guguran daun menutupi jalan tanah yang membuat pijakan terkadang jadi sedikit licin. Jalan itu membawa kami ke dinding-dinding tegak Patahan Lembang. Hutan produksi dengan pohon pinus dan kopi berselang-seling di kanan kiri jalan. Kami terus berjalan ke arah barat, melewati beberapa titik-titik tertinggi yang menyekat jalur perjalanan. Di setiap titik itu kami berhenti, merekam koordinat, menginterpretasi kembali peta sekaligus menikmati pemandangan. Sisi sebelah utara menampilkan lereng-lereng curam yang hijau dan sejuk, pucuk-pucuk pohon pinus menyembul diantara kehijauan vegetasi. Sementara itu, sisi selatan yang gersang dan berdebu, bagi kami,  lebih banyak mempertontonkan bukti-bukti pencabulan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun