Rilis data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) berdasarkan tingkat pendidikannya, 74% petani Indonesia merupakan lulusan SD, tidak SD, bahkan tidak sekolah. Padahal ada lebih dari 200 perguruan tinggi di Indonesia yang menghasilkan sarjana-sarjana pertanian setiap tahun. Mayoritas sarjana pertanian ini justru bekerja dibidang lain akibat adanya sterotipe yang cenderung meremehkan pekerjaan petani.
Ketiga, upahÂ
Rendahnya upah tenaga kerja di sektor pertanian membuat banyak dari petani yang berstatus prasejahtera. Rata-rata upah yang diperoleh setiap bulan oleh tenaga kerja bebas yang bekerja di sektor pertanian sebesar 1,1 juta sedangkan tenaga kerja yang bekerja pada sektor non pertanian memiliki rata-rata upah 1,75 juta perbulan. Berdasarkan data BPS rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian memiliki Head Count Index tertinggi yaitu sebesar 12,55 persen, artinya dari 100 rumah tangga yang bergantung pada sektor pertanian, sekitar 12 rumah tangga berstatus miskin.
Keempat, lahan pertanian
Dari segi luas lahan, tercatat ada 87,63% atau 22,9 juta rumah tangga petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta petani dilaporkan memiliki luasan lahan di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan kondisi tersebut, petani tidak dapat memaksimalkan produksi di lahannya dan kemudian menjadi salah satu pemicu yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Disisi lain, BPS (2018) menunjukkan analisisnya bahwa alih fungsi lahan sawah capai 200.000 ha per tahun. Luas lahan pertanian pada 2018 hanya tersisa 7,1 juta hektare, di mana angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
Kelima, regenerasi
Masih menurut laporan Badan Pusat Statistik, hanya 19,18% pemuda Indonesia yang bekerja di sektor pertanian pada 2021. Adapun, 25,02% di antaranya bekerja di sektor industri dan mayoritas sebesar 55,8% bekerja di sektor jasa. Papua menjadi provinsi dengan persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian tertinggi, yakni mencapai 73,05%. Disusul Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 45,97% dan Kalimantan Barat sebesar 37,46%.
Dengan kondisi-kondisi tersebut diatas, target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 akan sulit terealisasi jika permasalahan, khususnya regenerasi petani terus dibiarkan. Fenomena urbanisasi yang tidak terbendung dan diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya dapat mengancam regenerasi petani dan kelangsungan sektor pertanian Indonesia. Selain itu, tenaga kerja di sektor pertanian yang didominasi usia lanjut (kurang produktif) membuat adopsi teknologi pertanian menjadi lebih lambat.Â
Tak sampai disitu, Presiden Jokowi saat membuka KTT G20 di Bali pada 15 November 2022 yang lalu menyampaikan kekhawatirannya tentang ancaman krisis pupuk yang menghantui dunia. "Masalah pupuk jangan disepelekan, jika kita tidak bisa mengambil langkah agar ketersediaan pupuk tercukupi dengan harga terjangkau maka 2023 akan menjadi tahun yang lebih suram," kata Jokowi dalam pembahasan pertama di pembukaan. Â "Dapat semakin memburuk menjadi krisis tidak adanya pasokan pangan. Langka pupuk menyebabkan gagal panen di berbagai belahan dunia, 48 negara berkembang dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi akan menghadapi kondisi sangat serius," tutup Jokowi.
ST2023, Decission Maker Pemerintah