Siapa sangka tanaman porang jadi naik daun ? Porang atau dikenal juga dengan nama iles-kiles adalah tanaman umbi-umbian dari spesies Amorphophallus muelleri.
Manfaat porang ini banyak digunakan untuk bahan baku tepung, kosmetik, penjernih air, selain juga untuk pembuatan lem dan "jelly" yang beberapa tahun terakhir kerap diekspor ke negeri Jepang. Umbi porang juga banyak mengandung glucomannan berbentuk tepung. Glucomannan merupakan serat alami yang larut dalam air, biasa digunakan sebagai aditif makanan sebagai emulsifier dan pengental.
Porang bahkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan lem ramah lingkungan dan pembuatan komponen pesawat terbang, demikian dilansir laman resmi Kementerian Pertanian. Tak heran budidaya tanaman porang sangat populer pada sektor pertanian Indonesia dikarenakan tingginya permintaan ekspor atas tumbuhan ini.
Pasar ekspor porang sendiri meliputi Jepang, Taiwan, Korea, China serta beberapa negara Eropa. Oleh karenanya pemerintah melalui Kementerian Pertanian berencana untuk meningkatkan produksi pengolahan porang yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Tak mengherankan, budidaya porang saat ini menjadi primadona. Harga tanaman porang  bisa mencapai Rp 2.500 untuk satu umbi berukuran 4 kilogram. Sekitar 100 pohon tanaman porang bisa menghasilkan keuntungan Rp 1 juta. Jika dihitung, untuk 1 hektare tanah, bisa ditanami sebanyak 6 ribu bibit tanaman porang, nantinya bisa menghasilkan 24 ton/hektar. Jadi untuk hitungan kasar, jika tanah 1 hektare menghasilkan 24 ton umbi, bisa menghasilkan uang sebesar Rp 60 juta.Â
Demikian, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk menjadikan porang sebagai komoditas ekspor andalan baru di Tanah Air. Kepala Negara juga meyakini bahwa porang akan menjadi makanan sehat di masa mendatang mengingat porang memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Mulai dari rendah kalori hingga bebas gula.
Kaitan hal tersebut, pemanfaatan umbi porang merupakan bagian dari transformasi ekonomi hijau yang menjadi prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan.
Selanjutnya, ekonomi di masa yang akan datang perlu berevolusi, mengingat selama ini ekonomi hanya berfokus pada keuntungan pengelola, perusahaan tanpa memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan akibat proses produksi yang dilakukan. Hal ini dikenal dengan ekonomi linear, dan harus dikurangi untuk menuju ekonomi sirkular. Kondisi tersebut akan menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi, lingkungan sosial dan sumber daya, tapi juga meminimalkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Sehingga, apapun yang digunakan akan dapat diolah dan digunakan kembali sebagai input produksi.
Pembangunan rendah karbon juga menjadi tulang punggung menuju ekonomi hijau untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan mencapai nol emisi pada 2060. Implementasi kebijakan Net Zero Emission melalui Pembangunan Rendah Karbon dapat diwujudkan dengan melakukan transisi menuju ekonomi hijau. Terdapat lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon tertuang dalam UU No. 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sekitar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional.
Ke depan, Transformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau merupakan salah satu strategi agar Indonesia dapat keluar dari "middle income trap". Ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.
Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan diperlukan kesepakatan yang solid dari semua pihak. Tantangan Indonesia dalam mewujudkan Net Zero Emission melalui pembangunan rendah karbon adalah sangat besarnya investasi yang dibutuhkan. Pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan 3.799 Triliun rupiah jika mengikuti NDC atau komitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim.Â
Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tahun 2020 adalah 100 juta USD untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021. Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon. Karena untuk melakukan transisi energi, dibutuhkan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan, serta persiapan migrasi ke green jobs.Â
Bercermin dari besarnya tantangan yang dihadapi Indonesia, menjadi jelaslah betapa pentingnya sinergi dan dukungan dari seluruh sektor maupun stakeholder di bidang ekonomi. Oleh karenanya, perlu dilakukan kolaborasi dan komunikasi yang intensif antara berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan proses transisi menuju ekonomi hijau dapat dilakukan dengan baik.Â
Dibutuhkan pula Langkah strategis dalam mengefektifkan penguatan koordinasi dan dukungan kebijakan dari seluruh sektor di bidang ekonomi, mulai dari kebijakan fiskal, moneter dan keuangan. Sikap optimistis juga perlu terus ditumbuhkan, agar pondasi ekonomi yang telah dibangun, dapat menjadi pijakan dalam transformasi ekonomi, sehingga mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia merebut peluang pasar.
Lebih lanjut, Indonesia Development Forum (IDF) yang berlangsung di Bali pada 21--22 November 2022 telah menjaring pemikiran dan strategi dari berbagai kelompok kepentingan seperti akademisi, praktisi, dan perwakilan kementerian/lembaga untuk transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju pada 2045.Â
Agenda tersebut melahirkan beberapa terobosan dan inovasi  di antaranya pemanfaatan Umbi Porang (Amorphallus muelleri) sebagai bahan membuat plastik yang mudah terurai (edible bioplastic). Terobosan itu saat ini telah melibatkan Kelompok Petani Porang Sejahtera Bersama di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Inovasi lainnya, pengembangan industri pupuk organik cair di lingkungan Tempat Pembuangan Sampah, yang mana proyek itu merupakan hasil studi kasus di TPAS Piyungan, Yogyakarta. Gagasan lain yang turut dipamerkan, yaitu sintesis Boron Acid Doped Reduced Graphene Oxide yang memanfaatkan Jeruk Sunkist sebagai superkapasitor demi mendukung industri mobil listrik nasional.
Di acara yang sama, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa menyampaikan perekonomian Indonesia harus bertransformasi agar dapat lepas dari status negara berpenghasilan menengah (middle-income country) dan naik kelas menjadi negara maju pada 2045. Oleh karena itu, Suharso menilai perlu ada reindustrialisasi yang menjawab kebutuhan atas hidup yang berkelanjutan (sustainable), adaptif terhadap kemajuan teknologi (smart), fungsional, dan canggih. Transisi digital dan transisi hijau tidak terelakkan lagi.
Pada akhirnya, sekaligus dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, Indonesia perlu bergegas melaksanakan transisi ekonomi hijau yang memprioritaskan pembangunan rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan demi menjaga kelestarian bangsa.Â
Transformasi ekonomi hijau yang digagas seyogyanya berfokus pada pemanfaatan potensi desa sebagai basis pertumbuhan ekonomi daerah, yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan transformasi ekonomi berbasis industry pertanian, petani lebih efisien memanfaatkan infrastruktur yang memadai dan teknologi pertanian yang maju, serta kepastian adanya offtaker yang akan membeli produk pertaniannya dengan harga yang baik.
Indonesia Development Forum dapat dijadikan momentum pemerintah untuk menerapkan aspek yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). SDGs merupakan kesepakatan pembangunan global pada 2015 yang fokus pada agenda pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan, serta bertujuan mengurangi kemiskinan, kesenjangan dan melindungi lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H