Mohon tunggu...
Erald David Sibatuara
Erald David Sibatuara Mohon Tunggu... Pelajar -

Pengais Hikmah dalam Setiap Kata; Pelajar SMA yang masih kekanak-kanakkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayahku Seorang Pendongeng (Membangun Karakter Lewat Dongeng, Harganas 2015)

12 Juli 2015   14:58 Diperbarui: 13 Juli 2015   21:03 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lantas, mengapa ayah tak menjadi seorang dalang saja?” tanyaku penasaran.

Ia tersenyum simpul. Pendongeng, kata ayah saya, bukan hanya sebatas seorang dalang. Guru juga bisa menjadi pendongeng. Dosen juga bisa menjadi pendongeng. Orang tua, tambahnya, juga mampu (dan wajib) menjadi pendongeng bagi anak-anaknya. What?

“Ayah kan sudah sering sekali mendongengkan cerita padamu dan adik. Apa kamu pikir ayah ini seorang dalang, heh?” tanyanya setengah menyindir.

[caption caption="Pendongeng bukan hanya dalang. Source : Google Images"]

[/caption]

Memang, ayah sering menuturkan berbagai kisah pada kami, sebelum kami beranjak tidur. Ia akan memulai dengan kata “Dahulu kala,” sebelum memulai dongengnya. Cerita rakyat, mitos menyeramkan sampai fabel pernah ia kisahkan kepada kami. Terkadang kami tetap terjaga sampai ia menyelesaikan rangkaian kisahnya. Sering pula kami tertidur lelap sebelum ayah selesai bercerita. Namun, ia tak pernah lelah mendongengkan sesuatu untuk kami. Di tengah berbagai kesibukan pekerjaan, ia akan menyempatkan waktu barang beberapa menit untuk pergi ke kamar kami dan bercerita. Dan herannya, selama bertahun-tahun kisah di kepalanya seakan tak habis-habis (kami mendengar dongeng sebelum tidur dari umur 4 tahun sampai kelas 6 SD saja. Sewaktu beranjak SMP dan SMA, ayah saya memutuskan untuk memisahkan kami berdua)

Berbagai nilai moral yang terkandung dalam dongeng itu juga disesuaikan terhadap kondisi kami. Disaat kami akan menjalani ujian sekolah esok pagi, malamnya ayah akan mengisahkan Pinokio, seorang yang jikalau berbohong akan bertambah panjang hidungnya, sambil menebar ancaman bahwa siapa yang berbohong (baca: menyontek) akan ditimpa kesialan macam Pinokio. Ketika kami dirundung kesedihan, ia akan berceloteh tentang Cinderella, gadis cantik yang memiliki ibu peri sebagai pelipur lara di tengah duka. Pun disaat kami tak mau belajar, ia akan mengisahkan dongeng Si Kancil yang cerdik, yang mampu mengalahkan berbagai lawan dengan akalnya, seraya memotivasi kami untuk menjadi secerdik kancil dengan belajar.

[caption caption="Pinokio. Source : Google Images"]

[/caption]

Ayahku tak pernah membaca jurnal apapun mengenai pengaruh dongeng terhadap anak-anak (disini). Ia juga tak berniat membuka artikel-artikel yang bersliweran di dunia maya mengenai pentingnya dongeng terhadap perkembangan karakter. Ia bahkan sudah mengetahui pentingnya dongeng, sebelum KPK merambah dunia sastra itu untuk menyisipkan sikap anti korupsi pada anak (disini). Namun, ialah yang telah membumikan gagasannya, yang telah merealisasikan impiannya di keluarga kecilnya ini. Ialah yang telah bereksperimen dengan dua buah hati kecilnya, membekali kami dengan ilmu-ilmu kehidupan yang kan bermanfaat bagi kelak. Apakah eksperimen ayah berhasil? Sang waktu yang kan menunjukkan.

Ia kembali meminum tehnya, setelah cukup lama bercerita padaku tentang masa lalunya. Kulihat pancaran matanya yang membawa kebahagiaan, serta seutas senyum tulus di wajah. Ia melihatku, sambil berkata “Nak, sekarang kau sudah besar. Ayahmu tak bisa menjadi pendongeng lagi untukmu. Kau harus mencari dongeng untukmu sendiri. Carilah dongeng yang tak akan habis ditelan jaman, untukmu dan keluargamu nanti. Kelak, jika engkau mempunyai anak, kau pun harus menjadi pendongeng bagi ia, ya?”. Ia berkata sambil menepuk pundakku, seakan memberikanku energi baru dalam sentuhannya.

***

Dengan dongeng, ayah saya dapat membuat keluarga kecil kami semakin harmonis. Melalui dongeng, ia mengajarkan kepada kami segala nilai-nilai pekerti sebagai bekal bagi kami. Ia membangun apa yang berada di dekatnya dahulu, dan perlahan-lahan membawa perubahan bagi masyarakat, atau bahkan Indonesia dalam diri putra-putrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun