Tanganku menyentuh sebuah kotak kecil seperti peti yang dengan gegas kubawa ke daratan. Namun sayang, itu hanya bongkahan kayu. Lantas aku mencebur kembali, dan kembali, dan kembali. Sampai saat aku duduk di daratan, memandang ke luar bawah jembatan, awan tengah menangis.
Sama seperti lamaran pekerjaanku, yang kudapat hanya lelah. Aku dituduh, aku dicemooh, aku ditipu. Maka biarlah kupejamkan mata, mengharapkan mati. Mungkin mati dalam kesendirian dan keheningan lebih baik dibanding hidup lebih lama lagi.
Tapi rupanya tidak begitu. Begitu sengatan panas menghunusku, aku sontak membuka mata. Kulihat kilap pisau menembus dadaku.
Pisau itu lalu tercabut. Aku menggeliat-geliat dan berguling, menjauhi pria di hadapanku. Tapi pisau itu kembali meraihku, merobek kulitku. Tak tahu berapa kali dia menusuk, tetapi aku kehabisan tenaga. Aku berbaring lunglai.
Dunia seolah meredup. Kabut timbul hampir menutup segalanya. Tapi sebelum itu, kudapati kilap pisau menyinari wajah pria itu. Khawas. Si penipu cengeng itu.
"Jiwa dibalas jiwa," katanya, mendesis tepat di telingaku. "Kecelakaan yang menghabisi ayahku, dibalas ibumu. Harta dibalas harta. Harta ayahku kau renggut, maka biar aku merenggut hartamu."
Khawas meringis, saat napas panjang kutarik dalam-dalam. "Kau harta karunku. Satu ginjal bisa bernilai dua miliar."
Suara terakhir yang kudengar ialah sirene polisi. Dan juga gonggongan anjing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H