PEMERINTAH dan DPR telah menyepakati penyelenggaraan Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatift (Pileg) pada 14 Februari 2024. Ketetapan ini membuat partai politik bergerak mencari para kandidat untuk Pilpres 2024, di antaranya dari kalangan militer. Parpol berasumsi masyarakat masih tertarik dengan calon pemimpin berlatar belakang militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Golkar, sebagai parpol tertua dan terbesar, tidak ketinggalan. Golkar termasuk parpol yang paling awal menyuarakan akan mengusung kombinasi sipil dan militer dalam Pilpres 2024. Untuk Golkar, kandidat berlatar belakang militer yang diperhitungkan dalam Pilpres 2024 adalah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Mencuatnya figur dengan latar belakang militer merupakan hal wajar seiring kebutuhan aspek kemanan dan pertahanan dalam negeri. Fenomena tersebut normal dan logis saja. Apalagi, sosok Andika Perkasa merupakan suatu paket yang menarik. Sebagai Panglima TNI, Andika merupakan sosok yang sigap dalam menyikapi berbagai isu. Selain itu, Andika juga menjalin komunikasi yang baik dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakayat (DPR) selama menjabat sebagai Panglima TNI.
Sekadar mengilas ke belakang, Jenderal TNI Andika Perkasa merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1987 yang sebelum menjadi Panglima TNI pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sebelumnya ia juga pernah menduduki jabatan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Andika Perkasa mengawali kariernya sebagai perwira pertama infanteri di jajaran korps baret merah (Kopassus) Grup 2 selama 12 tahun. Setelah mendapatkan penugasan di Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) serta Mabes TNI-AD, kembali bertugas di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama.
Nama Andika mulai muncul ke publik saat menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI-AD dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) pada 2013. Saat Presiden Joko Widodo naik tampuk kekuasaan di 2014, Andika ikut ke Istana sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres). Pada 2016, Andika menduduki jabatan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII Tanjungpura, Kalimantan Barat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Dua tahun kemudian, Andika naik pangkat menjadi Letnan Jenderal dan menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklat) sebelum akhirnya menjadi Pangkostrad. Ia kemudian resmi menjabat sebagai KSAD pada 22 November 2018 sebelum akhirnya menjadi Panglima TNI pada 17 November 2021.
Sebagaimana disampaikan beberapa pengurus teras partai berlambang pohon beringin, paket Airlangga Hartarto dengan Andika Perkasa memang satu paket yang menarik. Mewujudkan pilihan dari kalangan ekonomi dan pertahanan.
Duet yang dipandang serasi. Kombinasi sipil dan militer ideal, mumpuni. Paket yang dinilai mampu menarik empati, simpati, dan pilihan dari berbagai kalangan: teknokrat, akademisi, milenial, dan rumah tangga, khususnya ibu-ibu. Andika Perkasa, dengan perawakannya yang kekar dan sikapnya yang santun, sudah menjadi idola kaum ibu.
Kendati demikian, Golkar tampaknya tidak mau tergesa-gesa. Golkar bisa jadi masih mencari figur atau tokoh lain selain Andika Perksasa yang memiliki elektabilitas tinggi untuk mendampingi ketua umumnya pada Pilpres 2024 mendatang.
Tingkat popularitas dan keterpilihan Airlangga dari berbagai survei politik sejauh ini secara umum memang terus memperlihatkan tren positif. Walau begitu, Airlangga tetap memerlukan pendamping yang mampu menambah atau meningkatkan elektabilitasnya.
Dalam konteks ini, Golkar tentunya tak menutup mata atas akan segera purna tugas atau pensiunnya Andika Perkasa pada akhir 2022 ini. Jika itu yang terjadi, wacana duet Airlangga-Andika sulit terealisasi. Jika Andika sudah pensiun, sulit menjadi magnet politik lagi.
Kita pahami bahwa Golkar wajib berkoalisi dengan partai lain pada Pilpres 2024 karena terhalang presidential threshold 20 persen. Apabila hal itu tak dilakukan, maka partai kuning tak akan bisa mengusung Airlangga, terlebih menjadikan Andika sebagai cawapres. Hanya saja, patut diingatkan pula bahwa koalisi tentu akan menimbulkan efek bagi Golkar, yaitu bisa saja tidak jadi mencalonkan Andika sebagai cawapres. Khususnya jika partai koalisi tidak menghendaki Andika, atau memiliki kandidat cawapres lainnya.
Asumsi kedua cukup logis. Tentu partai lain (koalisi) akan mengajukan calon masing-masing untuk posisi cawapres. Golkar sendiri tak punya pilihan lain kecuali berkoalisi. Namun, Golkar beruntung tetap solid untuk mendukung Airlangga sebagai satu-satunya kandidat capres. Sebagai parpol terbesar yang isinya pendekar semua, kuat soliditas untuk mendukung Airlangga sebagai capres tentu menjadi poin tersendiri.
Dari kalangan internal dan eksternal partai, memastikan adanya duet Airlangga-Andika menimbulkan tantangan tersendiri. Kalangan internal Golkar mungkin masih terpecah dalam menempatkan Andika Perkasa sebagai pilihan pertama cawapres. Di sisi lain, sebagai panglima TNI, Andika tidak berafiliasi dengan parpol mana pun.
Saat ini Golkar tengah kuat-kuatnya. Golkar tidak sedang dalam kondisi terbelah. Golkar terus belajar dari pengalaman betapa sangat merugikannya kekuatan yang terpecah-pecah. Oleh karena itu, dalam penunjukkan Airlangga sebagai capres 2024, Golkar solid.
Golkar menghindari pengalaman buruk saat tidak solid dalam mengusung figur sebagai capres. Dalam menentukan siapa yang bakal ditetapkan maju dalam capres. Pada Konvensi Partai Golkar 2004, mantan Ketum Partai Golkar Akbar Tanjung yang justru dikalahkan oleh Wiranto. Padahal, kala itu, Wiranto merupakan Ketua Umum Partai Hanura. Wiranto memenangkan konvensi dan menjadi capres yang diusung koalisi Partai Golkar. Di samping itu, Aburizal Bakrie akhirnya juga tidak dicalonkan. Jusuf Kalla yang maju, meski saat itu tidak menjadi calon Golkar.
Menuju Pilpres 2024, partai berlambang pohon beringin tidak terkotak-kotak dalam menentukan figur. Pilihannya hanya satu, Airlangga Hartarto. Untuk mamastikan terwujudnya duet Airlangga-Andika, Golkar harus menggandeng partai yang punya sikap sama, yakni menyukai Andika Perkasa sebagai cawapres. Itu berarti Golkar harus menghindari partai yang menginginkan pimpinannya otomatis sebagai cawapres.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI