Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Terbukti Dibayar! Lembaga Survei Kini Hanya Jadi Alat Politik

5 April 2022   12:33 Diperbarui: 5 April 2022   12:42 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil survei sudah tak mewakili realita di lapangan. (foto: tirto.id)

SEKARANG, tidak ada partai politik besar di Indonesia yang tak mengandalkan survei politik untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin. Survei dimanfaatkan untuk menonjolkan kehebatan, keunggulan, dan apa pun yang 'ter' untuk tokoh yang dimajukan. Baik itu untuk calon presiden, calon-calon gubernur dan anggota badan legislatif daerah mereka.

Dari hari ke hari lembaga survei semakin menjadi alat elektoral penting bagi para politikus Indonesia. Tak mengejutkan bila lembaga-lembaga itu sendiri semakin lama semakin kerap terseret ke dalam intrik, perebutan kekuasaan, dan godaan-godaan keuangan yang lazimnya diasosiasikan dengan politik elite.

Peran lembaga survei mulai diperhitungkan sejak era reformasi, khususnya setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Sejak itu, pergantian kepemimpinan, baik di pusat maupun daerah, diwarnai dengan perang dari berbagai lembaga survei politik. Survei politik, dengan pelbagai metodologi yang dipakai atau diterapkan, dimanfaatkan untuk memperoleh suara. Meningkatkan keterpilihan. Melambungkan popularitas.

Sulit menghitung berapa banyak jumlah lembaga survei dewasa ini. Satu hal diyakini, bahwa jumlah mereka dari waktu ke waktu semakin banyak. Khususnnya mendekati ke saat tahun 2024, ketika semua pemilihan atas nama rakyat dilakukan. Baik pilpres, pileg, menyusul kemudian pilkada serentak.

Bisa dibilang tak ada lembaga survei, dalam hal ini survei politik, yang sekarang benar-benar dominan. Tak seperti di awal reformasi dan setelahnya, di mana elit politik dan masyarakat sangat mengakrabi Lembaga Survei Indonesia (LSI) milik Saiful Mujani dan Denny Januar Ali.

Tak dipungkiri jika LSI masih dikenal luas hingga saat ini, baik LSI Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia), atau pun LSI Denny JA (Lingkaran Survei Indonesia)). Perbedaan pendapat, pilihan dan keberpihakan, menjadikan profesionalisme Saiful Mujani dan Denny JA juga terbelah.

Survei LSI Saiful Mujani atau survei LSI Denny JA masih bergulir, juga terkait kontestasi politik tahun 2024, sejatinya pemilihan presiden. Ada hasil yang serupa, meski tidak sedikit yang berbeda. Kedua lembaga survei terkemuka itu bersaing dalam menonjolkan data yang mereka sampaikan. Begitu juga dengan lembaga-lembaga survei lainnya.

Ada yang kesimpulannya sama, ada yang berbeda. Tak terkecuali dalam menyebut siapa tokoh yang paling layak menjadi pemimpin negeri ini di tahun 2024. Beberapa lembaga survei menyebut Anies Baswedan stabil menempati urutan teratas.

Sejumlah lembaga lain menyebut Ganjar Pranowo yang memimpin. Nama Prabowo Subiyanto diunggulkan oleh sekian lembaga survei lainnya. Yang menarik, tak sedikit lembaga survei yang menyimpulkan bahwa jika pilpres dilangsungkan hari ini maka yang terpilih adalah Airlangga Hartarto.

Lembaga-lembaga survei bertahan dan bahkan terus menjamur. Secara langsung dan tidak langsung, mereka dirawat atau dipelihara oleh partai-partai politik. Lembaga survei mampu meyakinkan partai-partai politik bahwa mereka sanggup mengatasi pengelompokan masyarakat Indonesia berdasarkan ukuran-ukuran sosial-politik dan keagamaan, serta menarik suara dari elektoral yang beragam.

Kaum elite politik Indonesia pun belajar lewat cara yang menyakitkan untuk tidak meremehkan data. Salah satu korbannya adalah Amien Rais, mantan Ketua MPR yang terakhir membidani kelahiran Partai Ummat.

Amien Rais pernah mengamuk karena mengira lembaga-lembaga survei telah dengan sengaja hanya mewawancarai responden yang membencinya, menjelang pemilu 2004. Pada 2005, Amien Rais mengundurkan diri dari jabatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) dan bersumpah tak bakal kembali mencalonkan diri sebagai presiden.

Sejarah mencatat, bahwa masa kampanye pemilu 2004 diramaikan oleh kemunculan survei-survei politik itu. Para pelaku survei  tak hanya memberitahu partai-partai dan kontestan pemilu tentang situasi mereka, tetapi juga membimbing agar mereka dapat meningkatkan kesempatan terpilih.

Secara umum, para pelaku survei politik Indonesia terbelah ke dalam dua kubu: Kubu "akademik", yang meyakini bahwa jajak pendapat semestinya melayani kebutuhan masyarakat akan informasi serta transparansi politik, dan kubu komersial, yang tak keberatan ikut mengorganisir kampanye bagi partai dan kontestan pemilu.

Keterlibatan lembaga survei dalam kepentingan politik praktis pada tim sukses calon presiden dan wakil presiden menunjukkan bahwa lembaga survei semakin menjerumuskan dirinya menjadi alat politik. Bahkan sempat terdengar kabar, ada delapan lembaga survei yang dibiayai lembaga rahasia negara untuk maksud dan tujuan tertentu!

Manuver yang dilakukan pengelola lembaga survei tidak mencerminkan independensi lembaga yang etika kerjanya lebih dekat pada dunia akademik, yaitu mengedepankan kepentingan publik. Mayoritas lembaga survei dijadikan alat politik oleh partai atau kandidat yang membiayai riset mereka. Mereka dengan sadar memperalat dirinya menjadi bagian dari kepentingan politik praktis.

Keterlibatan peneliti dan lembaga survei dalam politik praktis semakin intens, kredibilitas mereka di mata publik semakin merosot, apalagi bila temuan mereka ternyata hasilnya berbeda jauh dengan hasil pemilu.

Ada kecenderungan merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga survei bila tidak ada etika yang mengatur hubungan antara lembaga survei dengan pemesan riset. Sebagai contoh, sebuah lembaga riset peringkat tayangan televisi, yang hasilnya dipublikasikan sendiri oleh stasiun televisi selaku pemesan, bukan oleh lembaga riset itu sendiri.

Walau demikian, menjamurnya hasil survei berisi prediksi nasib partai politik maupun pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak sepenuhnya menggambarkan realitas pilihan masyarakat.

Alih-alih banyak lembaga survei yang justru abal-abal karena hanya berorientasi mencari keuntungan. Penilaian tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk 'Survei Pemilu, Realita atau Rekayasa?' di Gedung DPR RI, Jakarta, akhir Maret 2022 lalu.

Fadli Zon, mantan wakil ketua DPR yang pernah menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, mengaku sebagai orang yang tidak terlalu percaya dengan hasil survei, karena sering berbeda dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.

Apalagi, lembaga survei saat ini kerap merangkap menjadi konsultan politik partai politik maupun pasangan capres/cawapres atau dalam pilkada. Kalau itu yang terjadi, maka hasil surveinya dipertanyakan. Lembaga survei hanya akan menjadi predator demokrasi dan alat propaganda politik.

Direktur Program Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirajudin Abbas mengakui ada banyak kecurangan yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei. Malah, kata dia ada lembaga survei yang ketika diaudit mengundurkan diri sebelum diaudit. Intinya, mereka menghindari audit itu.

Kendati demikian, Sirajudin Abbas mengakui masih banyak lembaga survei yang tetap disiplin dengan tradisi keilmuan, baik melakukan survei opini publik maupun hasil hitung cepat (quick count) dengan dasar metodologi dan kerangka scientific yang sangat baik, sehingga hasilnya terbukti tidak berbeda jauh dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara secara resmi dari KPU.

Ada empat kriteria menurutnya untuk menentukan sebuah lembaga survei kredibel yaitu pertama, reputasinya. Rekam jejak sebelumnya seperti apa, publik perlu mengetahui  sebelumnya baik pada pilpres, pileg terdahulu maupun pilkada.

Kedua, pada sumber daya manusianya (SDM). Karena banyak peneliti di lembaga survei  yang mengaku mengerti statistik tetapi dalam praktiknya keilmuwan mampu melakukan survei. Ketiga, kejujuran dalam menyampaikan metodologi survei. Keempat,  harus menjelaskan secara rinci runutan dan temuan survei. Dari mana prosesnya,  misalnya cara bertanya harus dijelaskan, juga temuan yang harus disampaikan lengkap. Terkadang ada yang disampaikan ujungnya saja sehingga memunculkan kebingungan di masyarakat.

Pengamat Politik Musni Umar menegaskan tidak percaya dengan hasil survei pilpres yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta itu mengaku lebih percaya dengan kajian maupun penelitian dari para mahasiswanya. Karena tidak memiliki kepentingan dengan pihak manapun.

Terakhir, soal lembaga survei ini, simak apa kata Prabowo Subianto, Ketum Gerindra yang kini Menhan itu. Lebih banyak lembaga survei yang tak independen, tak objektif dan hanya digunakan sebagai alat politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun