Kaum elite politik Indonesia pun belajar lewat cara yang menyakitkan untuk tidak meremehkan data. Salah satu korbannya adalah Amien Rais, mantan Ketua MPR yang terakhir membidani kelahiran Partai Ummat.
Amien Rais pernah mengamuk karena mengira lembaga-lembaga survei telah dengan sengaja hanya mewawancarai responden yang membencinya, menjelang pemilu 2004. Pada 2005, Amien Rais mengundurkan diri dari jabatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) dan bersumpah tak bakal kembali mencalonkan diri sebagai presiden.
Sejarah mencatat, bahwa masa kampanye pemilu 2004 diramaikan oleh kemunculan survei-survei politik itu. Para pelaku survei  tak hanya memberitahu partai-partai dan kontestan pemilu tentang situasi mereka, tetapi juga membimbing agar mereka dapat meningkatkan kesempatan terpilih.
Secara umum, para pelaku survei politik Indonesia terbelah ke dalam dua kubu: Kubu "akademik", yang meyakini bahwa jajak pendapat semestinya melayani kebutuhan masyarakat akan informasi serta transparansi politik, dan kubu komersial, yang tak keberatan ikut mengorganisir kampanye bagi partai dan kontestan pemilu.
Keterlibatan lembaga survei dalam kepentingan politik praktis pada tim sukses calon presiden dan wakil presiden menunjukkan bahwa lembaga survei semakin menjerumuskan dirinya menjadi alat politik. Bahkan sempat terdengar kabar, ada delapan lembaga survei yang dibiayai lembaga rahasia negara untuk maksud dan tujuan tertentu!
Manuver yang dilakukan pengelola lembaga survei tidak mencerminkan independensi lembaga yang etika kerjanya lebih dekat pada dunia akademik, yaitu mengedepankan kepentingan publik. Mayoritas lembaga survei dijadikan alat politik oleh partai atau kandidat yang membiayai riset mereka. Mereka dengan sadar memperalat dirinya menjadi bagian dari kepentingan politik praktis.
Keterlibatan peneliti dan lembaga survei dalam politik praktis semakin intens, kredibilitas mereka di mata publik semakin merosot, apalagi bila temuan mereka ternyata hasilnya berbeda jauh dengan hasil pemilu.
Ada kecenderungan merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga survei bila tidak ada etika yang mengatur hubungan antara lembaga survei dengan pemesan riset. Sebagai contoh, sebuah lembaga riset peringkat tayangan televisi, yang hasilnya dipublikasikan sendiri oleh stasiun televisi selaku pemesan, bukan oleh lembaga riset itu sendiri.
Walau demikian, menjamurnya hasil survei berisi prediksi nasib partai politik maupun pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak sepenuhnya menggambarkan realitas pilihan masyarakat.
Alih-alih banyak lembaga survei yang justru abal-abal karena hanya berorientasi mencari keuntungan. Penilaian tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk 'Survei Pemilu, Realita atau Rekayasa?' di Gedung DPR RI, Jakarta, akhir Maret 2022 lalu.
Fadli Zon, mantan wakil ketua DPR yang pernah menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, mengaku sebagai orang yang tidak terlalu percaya dengan hasil survei, karena sering berbeda dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.