Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Awas Amandemen UUD 1945 Bisa Hidupkan Pengaruh MPR seperti Era Orba

27 September 2019   21:06 Diperbarui: 27 September 2019   21:48 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Umum MPR RI (foto: cnbindonesia.com)

DARI KURSI SENAYAN-Di tengah hiruk-pikuk suasana yang dipengaruhi oleh eforia aksi unjuk-rasa dari mahasiswa dan kalangan pelajar, yang belakangan menimbulkan korban jiwa dengan tewasnya dua mahasiswa dari demo mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019 menggelar sidang terakhirnya pada Jumat (27/9/2019).

Peristiwa politik di Senayan ini tersaji hanya selang beberapa hari pasca 'penyerbuan' kompleks parlemen oleh kalangan mahasiswa yang kemudian disusul oleh pelajar STM dan pramuka, sesuatu yang tak pernah terjadi dari gunjang-ganjing perpolitikan di tanah air.

Aksi unjuk rasa di Jakarta memang sudah terhenti, tetapi di sejumlah daerah masih terjadi, diwarnai tewasnya dua mahasiswa dari demo di Kendari, Sultra, itu.

Mungkin karena masih dipengaruhi kekhawatiran akan terjadinya aksi unjuk rasa susulan dari mahasiswa, pelajar dan bahkan demo buruh seperti ramai diisukan, disadari atau tidak atmosfir menjelang sidang terakhir MPR 2014-2019 melalui Rapat Paripurna tersebut terkesan menegangkan.

Jalanan seputar kompleks perlemen disterilkan. Akses jalan menuju "rumah besar' dari para wakil rakyat yang terhormat ditutup.

Pengamanan ketat dilakukan, termasuk tentunya untuk mengantisipasi kemungkinan adanya 'serbuan' susulan melalui berbagai aksi yang tidak dikehendaki. Walau demikian, sidang akbar MPR masa bakti 2014-2019 yang dihelat di Ruang Rapat Paripurna I Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI ini hanya diikuti 285 orang dari total 692 anggota MPR, meski tetap kuorum.

Merujuk dari relatif sedikitnya jumlah anggota MPR yang mengikuti Rapat Paripurna terakhir ini, sejumlah tanda tanya bisa diketengahkan.

Mengenyampingkan adanya aksi-aksi unjuk rasa dadakan dan mengejutkan dari mahasiswa dan pelajar, Rapat Paripurna pamungkas MPR masa bakti 2014-2019 ini bisa dikesankan tidak begitu menarik perhatian dari mayoritas anggota MPR. Mengapa bisa demikian?

Memang tidak ada keputusan-keputusan penting atau strategis dari Rapat Paripurna MPR 2014-2019 ini, karena secara subtansi tidak dimungkinkan. Rapat Paripurna terakhir ini utamanya mengesahkan perubahan tata tertib (tatib) tentang pimpinan MPR, yang semula berjumlah 8 menjadi 10 orang. Satu orang Ketua dan sembilan wakil ketua.

Namun terkait pengesahan tersebut, Fraksi Partai Golkar, Demokrat, dan PKS memberi catatan agar selain dituangkan dalam Ketetapan MPR juga terbuka kemungkinan untuk diputuskan melalui Undang-undang.

Di sisi lain, dengan tatib yang baru, MPR masa jabatan 2019-2024 dapat langsung menggunakannya sebagai pedoman dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya. Disamping itu, bakal calon pimpinan MPR diusulkan oleh fraksi dan DPD melalui sidang paripurna.

Untuk setiap fraksi dan kelompok DPD hanya dibolehkan mengajukan satu calon pimpinan MPR. Adapun batas waktu pengajuan calon pimpinan MPR ditentukan dalam sidang paripurna MPR.

Apabila pengajuan bakal calon di luar batas yang ditentukan maka mekanisme pemilihan tetap dilanjutkan. Sedangkan pemilihan Ketua MPR akan dilakukan secara musyawarah mufakat dari 10 calon pimpinan MPR.

AMANDEMEN UUD UNTUK GBHN & KONTESTASI KETUM GOLKAR
MPR masa bakti 2019-2024, yang akan mulai bertugas setelah pelantikan anggota DPR dan DPD pekan depan, disebut-sebut akan memiliki peranan lebih besar dari sebelumnya.

Hal ini berkaitan dengan wacana amandemen Undang Undang Dasar 1945 yang memberi kewenangan MPR untuk menetapkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Draf dari amandemen terbatas terhadap UUD 1945 perubahan kelima itu sudah dibuat oleh MPR periode 2014-2019 yang sudah habis masa jabatannya hari ini. Draf amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN itu dibuat oleh panitia adhoc GBHN, bersamaan dengan pembentukan panitia adhoc non-GBHN untuk menyusun draf amandemen.

Draf GBHN itu telah rampung disusun dan didistribusikan kepada setiap fraksi di DPR untuk dipelajari. Kini, pembahasan amandemen terbatas otomatis dilimpahkan ke MPR masa bakti 2019-2024.

Sekadar mengingatkan, amandemen terbatas UUD 1945 bisa menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi dengan menghidupkan kembali GBHN seperti zaman Orde Baru (Orba), di mana MPR saat itu seperti alat legitimasi melanggengkan penguasa.

Status MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah batal lewat amendemen 1999-2002. Usai amendemen itu, MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi dan muncul perimbangan kekuasaan dari DPR dan DPD.

Bila ditelisik lebih jauh, adalah PDIP yang mewacanakan dilakukannya amandemen UUD 1945 dengan tujuan utama menghidupkan kembali GBHN ini. PDIP disebut-sebut sudah mengusulkan hal itu sejak satu dasawarsa lalu, bersamaan dengan amandemen beberapa pasal-pasal lain dari UUD 1945 tersebut.

Terkini disebutkan bahwa dari hasil kajian yang dilakukan oleh MPR direkomendasikan perlunya perubahan Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945. Kedua pasal ini mengatur tentang eksistensi, wewenang, dan kedudukan hukum MPR.

Rekomendasi tersebut memperkuat hasil Rakernas PDIP tiga tahun silam, 2016. Pada rakernas itu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyatakan Indonesia perlu menghidupkan kembali GBHN.

Pernyataan Megawati ketika itu cukup mengejutkan sejumlah pihak dan memunculkan spekulasi bahwa ketua umum partai berlambang banteng itu ingin menjadikan GBHN sebagai pijakan untuk mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terkesan sulit dikontrol partainya.

Menjejak ke masa kini, tiga tahun setelah rakernas PDIP 2016 itu, pertemuan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subiyanto dua bulan silam disebut-sebut tak bisa dilepaskan dari upaya PDIP untuk membuat Gerindra menyokong rencananya.

Belakangan, setelah pertemuan dua petinggi partai pemenang pileg 2019 itu, fungsionaris atau para politisi kedua partai di MPR makin gencar menyebutkan pentingnya dilakukannya amandemen terbatas UUD 45 untuk menghidupkan kembali GBHN tersebut.

Para pengusung amandemen ini bahkan menyebut jika hampir semua parpol, baik pendukung koalisi atau bukan, mendukung rencana tersebut. Apalagi, Megawati dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) disebut-sebut telah membicarakan rencana amandemen terbatas UUD 1945 oleh MPR untuk menghidupkan kembali GBHN itu dengan Presiden Joko Widodo.

Secara umum, rencana amandemen terbatas UUD 1945 oleh MPR untuk menghidupkan kembali GBHN itu masih menjadi pro-kontra. Meski para pendukung amandemen mengklaim bahwa rencana itu telah didukung oeh mayoritas partai, toh masih terjadi penolakan besar.

Golkar, misalnya, yang sangat pro Jokowi, termasuk yang keberatan. Para politisi Partai Golkar baik di MPR atau DPR bersikeras mengajukan keberatannya. Apa urgensi amandemen terbatas UUD 1945 itu? Masih perlukah GBHN sekarang ini? Sistem pemilu sudah berubah dan presiden bukan lagi menjadi mandataris MPR.

Ada perbedaan mendasar antara era ketika GBHN berlaku dan kondisi saat ini. Perbedaan mendasar tersebut ialah pemilihan presiden yang dulu dilakukan oleh MPR. Sehingga, lazim saja jika dulu MPR membekali presiden dengan GBHN untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Presiden pun harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR.

Sekarang, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga memiliki visi misinya sendiri yang telah dikampanyekan kepada publik. Dulu, saat GBHN masih berlaku, sistem pemilihan presiden itu melalui MPR, bukan langsung dipilih oleh rakyat seperti sekarang. Dengan demikian, presiden yang terpilih tidak membutuhkan GBHN.

Berkaitan dengan pro-kontra amandemen Pasal 2 dan 3 UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN itu, penolakan tak hanya dilakukan oleh para politisi muda, akan tetapi juga kalangan sepuh seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.

Kedua mantan petinggi Partai Golkar tersebut mengisyaratkan bahwa dihidupkannya kembali GBHN membuat Indonesia seperti kembali ke masa lalu. Mereka menyebutkan, kewenangan besar yang akan dimiliki oleh MPR sama saja dengan membuat rakyat seperti kembali tidak berdaulat.

GBHN juga berpotensi membatasi gerak presiden dalam menjalankan pemerintahan. GBHN bisa mengunci presiden terpilih dan membuat ruang gerak presiden menjadi terbatas.

GBHN mengasumsikan orang yang menetapkan GBHN lebih tahu arah pembangunan ini harus ke mana dibandingkan dengan aktor politik atau presiden yang terpilih belakangan. GBHN niscaya di era sebelum reformasi lantaran pemerintah memang memiliki agenda untuk berkuasa dalam jangka waktu lama.

Bagaimana sikap Presiden Jokowi sendiri terhadap rencana sejumlah partai politik mengubah konstitusi atau amendemen UUD 1945 tersebut? Jokowi mengisyaratkan keberatannya terhadap rencana yang dapat bermuara kepada perubahan sistem pemilihan presiden secara langsung di masa depan tersebut. Meski tidak secara langsung menolak rencana amendemen UUD 1945, Jokowi mengomentari potensi perubahan sistem pemilihan presiden dari hasil perubahan konstitusi tersebut.

Sebagai presiden yang dua kali dipilih oleh rakyat lewat pemilihan presiden langsung, dia tidak setuju jika presiden dipilih oleh MPR. Jadi, mana mungkin Jokowi mendukung rencana tersebut?

Ke depannya, jika amandemen diberlakukan, seorang tukang kayu seperti Jokowi tidak bisa lagi jadi presiden--sebagaimana keajaiban yang diperolehnya pada kontestasi pilpres 2014.

Dari persfektif lain, ketidaksetujuan Jokowi terhadap amandemen Pasal 2 dan 3 UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN yang memberi kewenangan lebih besar terhadap MPR memberi pengaruh pada kontestasi perebutan kursi ketua umum Partai Golkar 2019-2024.

Seperti diketahui, pucuk pimpinan partai berlambang pohon beringin tengah diperebutkan oleh dua tokoh yang sama-sama disebutkan dekat dengan Jokowi. Yakni, Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo.

Airlangga Hartarto adalah inkumben ketua umum partai, yang diduduki sejak medio 2017, sementara Bambang Soesatyo saat ini masih menjabat ketua DPR--yang akan habis masa jabatannya 1 Oktober mendatang, menyusul pelantikan anggota DPR 2019-2024.

Dari eskalasi perebutan kursi ketua umum Partai Golkar itu, Jokowi disebut-sebut cenderung lebih mendukung Airlangga Hartarto yang selama ini sudah memberi kontribusi besar sebagai pembantunya di kabinet.

Jokowi sepertinya terkesan dengan sikap para politisi Partai Golkar yang ngotot menolak dihidupkannya kembali GBHN tersebut. Sementara, di sisi lain, Bambang Soesatyo dalam kapasitasnya sebagai ketua DPR justru dinilai condong mendung upaya dihidupkannya GBHN yang memberi kewenangan lebih besar kepada MPR nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun