Pernyataan Megawati ketika itu cukup mengejutkan sejumlah pihak dan memunculkan spekulasi bahwa ketua umum partai berlambang banteng itu ingin menjadikan GBHN sebagai pijakan untuk mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terkesan sulit dikontrol partainya.
Menjejak ke masa kini, tiga tahun setelah rakernas PDIP 2016 itu, pertemuan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subiyanto dua bulan silam disebut-sebut tak bisa dilepaskan dari upaya PDIP untuk membuat Gerindra menyokong rencananya.
Belakangan, setelah pertemuan dua petinggi partai pemenang pileg 2019 itu, fungsionaris atau para politisi kedua partai di MPR makin gencar menyebutkan pentingnya dilakukannya amandemen terbatas UUD 45 untuk menghidupkan kembali GBHN tersebut.
Para pengusung amandemen ini bahkan menyebut jika hampir semua parpol, baik pendukung koalisi atau bukan, mendukung rencana tersebut. Apalagi, Megawati dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) disebut-sebut telah membicarakan rencana amandemen terbatas UUD 1945 oleh MPR untuk menghidupkan kembali GBHN itu dengan Presiden Joko Widodo.
Secara umum, rencana amandemen terbatas UUD 1945 oleh MPR untuk menghidupkan kembali GBHN itu masih menjadi pro-kontra. Meski para pendukung amandemen mengklaim bahwa rencana itu telah didukung oeh mayoritas partai, toh masih terjadi penolakan besar.
Golkar, misalnya, yang sangat pro Jokowi, termasuk yang keberatan. Para politisi Partai Golkar baik di MPR atau DPR bersikeras mengajukan keberatannya. Apa urgensi amandemen terbatas UUD 1945 itu? Masih perlukah GBHN sekarang ini? Sistem pemilu sudah berubah dan presiden bukan lagi menjadi mandataris MPR.
Ada perbedaan mendasar antara era ketika GBHN berlaku dan kondisi saat ini. Perbedaan mendasar tersebut ialah pemilihan presiden yang dulu dilakukan oleh MPR. Sehingga, lazim saja jika dulu MPR membekali presiden dengan GBHN untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Presiden pun harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR.
Sekarang, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden juga memiliki visi misinya sendiri yang telah dikampanyekan kepada publik. Dulu, saat GBHN masih berlaku, sistem pemilihan presiden itu melalui MPR, bukan langsung dipilih oleh rakyat seperti sekarang. Dengan demikian, presiden yang terpilih tidak membutuhkan GBHN.
Berkaitan dengan pro-kontra amandemen Pasal 2 dan 3 UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN itu, penolakan tak hanya dilakukan oleh para politisi muda, akan tetapi juga kalangan sepuh seperti Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.
Kedua mantan petinggi Partai Golkar tersebut mengisyaratkan bahwa dihidupkannya kembali GBHN membuat Indonesia seperti kembali ke masa lalu. Mereka menyebutkan, kewenangan besar yang akan dimiliki oleh MPR sama saja dengan membuat rakyat seperti kembali tidak berdaulat.
GBHN juga berpotensi membatasi gerak presiden dalam menjalankan pemerintahan. GBHN bisa mengunci presiden terpilih dan membuat ruang gerak presiden menjadi terbatas.