Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jokowi Melawan Hegemoni Industri Minyak Nabati Dunia

10 Maret 2019   18:45 Diperbarui: 10 Maret 2019   19:09 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi paham, industri perkebunan kelapa sawit sudah menjadi sedemikian penting, dengan luas mencapai 14 juta hektar. Ada lebih dari 17 juta petani dan pekerja yang bergantung langsung pada industri kelapa sawit.

Ditambahkan industri pendukungnya, baik langsung maupun tidak langsung, maka ada jutaan orang lagi yang bergantung. Bila per keluarga petani kelapa sawit berjumlah tiga  orang, maka ada 47 juta orang yang terdampak langsung pada naik turunnya industri kelapa sawit.

Produksinya minyak sawit mentah (CPO) mencapai 45 juta ton per tahun, merupakan yang tertinggi di dunia. Sebanyak 30% dimanfaatkan di dalam negeri, dan 70% lainnya diekspor. Minyak sawit di dalam negeri, sudah mampu mencapai target B20 pada tahun 2018, dan sedang diupayakan untuk bisa mencapai B30 tahun 2020. 

Penggunaan biodisel B30 disadari karena produksi minyak bumi Indonesia yang terus menurun setiap tahunnya, sehingga meningkatkan ketergantungan impor solar. Penggunaan biodisel akan menekan impor solar untuk menghemat devisa.

Dari ekspor minyak sawit, devisa yang dihasilkan mencapai US$ 23 miliar, atau sekitar Rp 300 triliun, sehingga merupakan penyumbang devisa terbesar. Jumlah tersebut menyehatkan neraca perdagangaan negara, untuk menggantikan minyak bumi dan gas yang produksinya terus menurun.

Produktivitas minyak kelapa sawit lebih tinggi 8-10 kali lipat dibandingkan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, jagung, buga matahari, atau canola, yang sebagian besar di antaranya diproduksi di Eropa dan Amerika Serikat.

Produktivitas kelapa sawit ini tentu saja sangat mengkhawatirkan Pemerintah di sana, sehingga negara-negara maju tersebut harus mengeluarkan dana cukup besar untuk melindungi petaninya. Sesuatu yang bertolak belakang dengan yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka sangat mungkin suatu saat produksi minyak nabati non sawit akan terlibas dan mati. Penyebabnya sangat sederhana, di negara Eropa dan Amerika Serikat, kelapa sawit tidak bisa dikembangkan. Mungkin akan berbeda ceritanya apabila kelapa sawit juga bisa dikembangbiakkan di sana.

Untuk itu, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat mati-matian menghantam Indonesia dengan berbagai isu terkait dengan perkembangan budidaya perkebunan kelapa sawit.

Senjata paling ampuh adalah isu deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Isu lainnya yang juga pernah dicoba namun tidak terlalu berdampak signifikan adalah mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Namun ternyata itu semua tidak bisa menghalangi pertumbuhan industri kelapa sawit.

Jokowi Keluarkan Inpres No 8 Tahun 2018

Dalam konteks lebih luas, Jokowi sangat paham dengan semua isu yang telah dikembangkan, yang sejatinya bertujuan menghantam perkembangan industri kelapa sawit. Jokowi sangat paham bahwa keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan tropis Indonesia sangat beragam dan bernilai tinggi.

Jokowi juga paham bahwa konversi hutan tropis Indonesia juga mempengaruhi perubahan iklim global. Jokowi juga paham bahwa hutan belum dikelola dengan baik, sehingga belum memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan. Jokowi sangat paham dengan itu semua.

Oleh karena itu, sesaat setelah menjabat, Jokowi melanjutkan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit, yang puncaknyaa dilakukan pada bulan September 2018 dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Di dalam Inpres tersebut, tata kelola perkebunan kelapa sawit harus diperbaiki agar pengelolaannyaa lebih berkelanjutan. Selain itu, tumpang tindih kawasan perkebunan antar perusahaan, atau perusahaan dengan masyarakat, atau antara perkebunan dengan kawasan hutan harus segera dibereskan.

Juga perlindungan keanekaragaman hayati yang sangat beragam dan bernilai sangat tinggi harus bisa dipastikan terjaga kelestariannya seperti gajah, harimau sumatera, orangutan, beruang madu, atau ratusan aneka jenis burung. Perlindungan yang akan menurunkan efek gas rumah kaca dalam upayanya memerangi pemanasan global akibat pelepasan gas rumah kaca.

Inpres No 8 Tahun 2018 juga akan menguatkan kepastian hukum yang telah ada untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit terutama di tingkat petani yang sebagian besar diantaranya memiliki modal terbatas. Dengan peningkatan produktivitas di tingkat petani, maka kesejahteraan jutaan masyarakat Indonesia akan meningkat.

Semua isu dan aspek terkait perkebunan kelapa sawit sangat dipahami oleh Jokowi, sehingga beliau sangat berkomitmen memperbaiki tata kelolanya, tak terkecuali, dan tanpa kompromi. Yang membedakan adalah langkah hukum untuk memperbaikinya. Jokowi paham bila semua aspek dalam perbaikan tata kelolanya dilakukan sangat tegas melalui pendekatan hukum, akan menimbulkan guncangan besar.

Petani dan perusahaan akan terimbas bukan hanya pada produksinya, namun juga perekonomian nasional. Para pengusaha akan melakukan perlawanan karena menyangkut keberlangsungan keuangan perusahaan. Ujungnya dapat ditebak, instabilitas politik akan meningkat sehingga pembangunan juga akan terhambat. Itu sangat dihindari oleh Jokowi.

Keseluruhan carut marut permasalahan industri kelapa sawit hingga mendapatkan serangan dari negara-negara maju disebabkan ketidaktegasan dan tidak adanya arah yang jelas dalam pengembangan industrinya oleh Pemerintahan di masa lalu.

Namun lagi-lagi Jokowi tidak mau semata-mata menimpakan kesalahan tersebut pada kebijakan sebelumnya. Beliau lebih suka memperbaiki tata kelolanya agar industri kelapa sawit yang sudah sedemikian luasnya benar-benar dapat memberi manfaat bagi pembangunan.

Lobi-lobi kepada negara-negara maju penghasil minyak nabati lain juga terus dilakukan termasuk ke organisasi perdagangan dunia, WTO yang cenderung membela negara besar. Langkah-langkah perbaikan dan rencana ke depan terus disampaikan agar pasar internasional mau menerima produk minyak kelapa sawit.

Perluasan pasar baru seperti ke Rusia dan negara Eropa timur terus dilakukan. Terakhir, Rusia mau menerima minyaak kelapa sawit yang dibarter dengan pengadaan persenjataan dan pesawat terbang. Sebuah langkah cerdik dan strategis karena mengupayakan kepentingan dalam negeri dan hubungan perdagangan sekaligus.

Dalam isu deforestasi dan keanekaragaman hayati, Pemerintahan Jokowi membuka fakta-fakta baru bahwa perkebunan kelapa sawit relatif lebih baik. serapan karbon dan keanekaragaman hayati.

Dengan menggandeng organisasi internasional untuk pelestarian keanekaragaman hayati, International Union for Conservation of Nature (IUCN), penilaian obyektif telah dikeluarkan bersama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian pada bulan Februari 2019 (https://ekon.go.id/press/view/siaran-pers-studi-iucn.4577.html). 

Dengan produktivitas sekitar sembilan kali lebih besar dibandingkan minyaak nabati lainnya, maka sesungguhnya mengganti kelapa sawit dengan komoditi lain justru akan menimbulkan kerusakan lebih besar lagi.

Studi ini juga memprediksikan akan terus meningkatnya permintaan global minyak sawit yang diperkirakan mencapai 310 juta ton pada tahun 2050, sehingga pengembangan industri kelapa sawit diharapkan justru mengurangi potensi terjadinya deforestasi lebih lanjut, yang selama ini banyak disuarakan dunia internasional atas nasib hutan Indonesia masa kini dan kelestariannya di masa depan.

Jadi tak dapat dipungkiri, berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan Jokowi bertujuan memastikan pengelolaan industri kelapa sawit lebih berkelanjutan, yang bertumpu pada 3 hal; pelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, memberikan manfaat sosial lebih besar bagi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi untuk pembangunan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun