Dalam konteks lebih luas, Jokowi sangat paham dengan semua isu yang telah dikembangkan, yang sejatinya bertujuan menghantam perkembangan industri kelapa sawit. Jokowi sangat paham bahwa keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan tropis Indonesia sangat beragam dan bernilai tinggi.
Jokowi juga paham bahwa konversi hutan tropis Indonesia juga mempengaruhi perubahan iklim global. Jokowi juga paham bahwa hutan belum dikelola dengan baik, sehingga belum memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan. Jokowi sangat paham dengan itu semua.
Oleh karena itu, sesaat setelah menjabat, Jokowi melanjutkan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit, yang puncaknyaa dilakukan pada bulan September 2018 dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Di dalam Inpres tersebut, tata kelola perkebunan kelapa sawit harus diperbaiki agar pengelolaannyaa lebih berkelanjutan. Selain itu, tumpang tindih kawasan perkebunan antar perusahaan, atau perusahaan dengan masyarakat, atau antara perkebunan dengan kawasan hutan harus segera dibereskan.
Juga perlindungan keanekaragaman hayati yang sangat beragam dan bernilai sangat tinggi harus bisa dipastikan terjaga kelestariannya seperti gajah, harimau sumatera, orangutan, beruang madu, atau ratusan aneka jenis burung. Perlindungan yang akan menurunkan efek gas rumah kaca dalam upayanya memerangi pemanasan global akibat pelepasan gas rumah kaca.
Inpres No 8 Tahun 2018 juga akan menguatkan kepastian hukum yang telah ada untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit terutama di tingkat petani yang sebagian besar diantaranya memiliki modal terbatas. Dengan peningkatan produktivitas di tingkat petani, maka kesejahteraan jutaan masyarakat Indonesia akan meningkat.
Semua isu dan aspek terkait perkebunan kelapa sawit sangat dipahami oleh Jokowi, sehingga beliau sangat berkomitmen memperbaiki tata kelolanya, tak terkecuali, dan tanpa kompromi. Yang membedakan adalah langkah hukum untuk memperbaikinya. Jokowi paham bila semua aspek dalam perbaikan tata kelolanya dilakukan sangat tegas melalui pendekatan hukum, akan menimbulkan guncangan besar.
Petani dan perusahaan akan terimbas bukan hanya pada produksinya, namun juga perekonomian nasional. Para pengusaha akan melakukan perlawanan karena menyangkut keberlangsungan keuangan perusahaan. Ujungnya dapat ditebak, instabilitas politik akan meningkat sehingga pembangunan juga akan terhambat. Itu sangat dihindari oleh Jokowi.
Keseluruhan carut marut permasalahan industri kelapa sawit hingga mendapatkan serangan dari negara-negara maju disebabkan ketidaktegasan dan tidak adanya arah yang jelas dalam pengembangan industrinya oleh Pemerintahan di masa lalu.
Namun lagi-lagi Jokowi tidak mau semata-mata menimpakan kesalahan tersebut pada kebijakan sebelumnya. Beliau lebih suka memperbaiki tata kelolanya agar industri kelapa sawit yang sudah sedemikian luasnya benar-benar dapat memberi manfaat bagi pembangunan.
Lobi-lobi kepada negara-negara maju penghasil minyak nabati lain juga terus dilakukan termasuk ke organisasi perdagangan dunia, WTO yang cenderung membela negara besar. Langkah-langkah perbaikan dan rencana ke depan terus disampaikan agar pasar internasional mau menerima produk minyak kelapa sawit.