Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000, pasal I, Bank Syariah adalah "bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari'ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari'ah". Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalahunit kerja di kantor pusat bank konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah.
Tingginya respon terhadap perbankan syariah dipicu oleh ketidakpuasan terhadap konsep dan operasi perbankan konvensional. Penyerahan risiko usaha terhadap salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan, dimana risiko penghimpunan dana sepenuhnya ditanggung oleh bank, sebaliknya risiko kredit sepenuhnya ditanggung oleh debitur. Dalam jangka panjang sistem perbankan konvensional juga berpotensi menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang yang memiliki kapital besar (Sjahdeini, 1999). Menurut Khursid Ahmad (dalam Basri, 2000), yang dikenal sebagai bapak Ekonom Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam.
Tahapan Pertama, dimulai pada pertengahan dekade 19930-an ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahap ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Tahapan ketiga ditandai dengan adanya upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan keempat yang ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana membumikan perbankan syariah di Indonesia yang notabene masyarakatnya majemuk yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Secara Filosophis, di zaman pasca-modernisme ada hal yang menarik untuk dikembangkan yaitu sifat menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala keunikan dan keberagamannya. Dengan menyadari itu, pasca-modernisme memberikan hak untuk menyuarakan pendapatnya dan terus menjalankan sifat emansipatorisnya. Jadi, kita harus bisa memegang kedua-duanya, yang universal dan yang lokal. Hal ini pun bisa diterapkan dalam rangka membumikan perbankan syariah di bumi nusantara tercinta. Produsen harus bisa memanusiakan konsumen karena mereka mempunyai hak dan peran penting dalam memenangkan persaingan pasar. Melalui gerakan humanisasi konsumen, maka sisi gelap modernisme seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990) perihal kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar dan industrialisasme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas[1] bisa terobati oleh konsep humanisasi konsumen pada perbankan syariah (pen-).
Pendekatan-pendekatan yang bisa dipakai dalam membumikan perbankan syariah di masyarakat kita melalui beberapa cara berdasarkan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Untuk memudahkan langkah-langkah tersebut saya akan membagi konsumen berdasarkan agama dan keyakinan. Hal ini saya lakukan karena perbankan syariah identik kepada salah satu bahasa agama yaitu Islam. Oleh karena itu pendekatan-pendekatan yang dipakai di sini ada dua; pertama pendekatan terhadap konsumen dari kalangan Muslim dan kedua pendekatan terhadap konsumen dari kalangan non-Muslim.
Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses membumikan perbankan syariah bagi masyarakat Muslim diantaranya adalah: Pertama; Sosialisasi yang intensif dan komprehenshif melalui bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat Muslim. Apabila anda seorang peneliti yang ingin menguasai medan atau lapangan penelitian, maka langkah pertama yang harus ditangani adalah masalah komunikasi dengan responden, hal ini juga sama bagaimana perbankan syariah bisa diterima oleh masyarakat Muslim melalui pendekatan budaya dan bahasa mereka. Secara teoritis tidak dapat diragukan bahwa perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang merujuk pada aturan hukum-hukum Islam. Namun mesti diingat satu hal, sekalipun masyarakat tahu bahwa kata syariah itu biasanya merujuk pada Islam, namun mereka sekarang mulai kritis tentang politisasi atau komersialisasi simbol-simbol agama melalui sebuah merek. Tantangan berikutnya adalah masalah wawasan yang mereka miliki perihal perbankan syariah itu sendiri, hal ini disebabkan karena selama puluhan tahun masyarakat di jejali dan dininabobokan oleh sistem perekonomian yang non-syariah, sehingga dengan sendirinya mereka sudah merasa nyaman dengan sistem perbankan konvensional dan ragu untuk pindah ke sistem perbankan syariah.
Kedua; Melibatkan tokoh agama lokal dan organisasi-organisasi massa. Langkah ini penting untuk memberdayakan para tokoh agama di daerah agar melek terhadap permasalahan ekonomi dan keuangan. Apabila ada anggota masyarakat atau konsumen yang masih ragu dan belum tahu tentang sistem perbankan ini, maka biasanya dalam masalah Fiqhiyyah sering bertanya kepada tokoh agama setempat.
Ketiga; Kurikulum pendidikan ekonomi yang meliputi perbankan syariah di sekolah-sekolah Islam. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka dengan sendirinya pertumbuhan anak didik di Indonesiapun akan semakin meningkat. Hal ini menjadi pasar potensial sekaligus amal untuk memberikan pendidikan dini kepada anak didik perihal perbankan syariah sehingga dikemudian hari mereka tidak asing lagi untuk memilih produk perbankan syariah.
Keempat; Pendekatan yang persuasif dengan melakukan kerjasama yang konkrit melalui pemberdayaan sumber daya ummat. Hal ini demi memberikan timbal balik yang positif akan peran penting adanya perbankan syariah. Secara politis akan memperkuat pengaruh Brand atau merek perbankan syariah terhadap konsumen sehingga konsumen tidak lari ke produk lain atau dengan kata lain menciptakan pelanggan sejati. Contoh konkrit; memberdayakan ekonomi santri di pesantren melalui karya nyata yang berkelanjutan dan sistematis.
Sedangkan pendekatan-pendekatan yang bisa dipakai dalam proses membumikan perbankan syariah bagi masyarakat Non-Muslim diantaranya adalah: Pertama; universalisme nilai-nilai perbankan syariah. Melalui pendekatan ini produsen harus bisa memberikan pemahaman yang jelas dan akurat perihal perbankan syariah kepada warga non-Muslim. Hal yang paling penting adalah bahwa perbankan syariah bukan hanya diperuntukan bagi masyarakat Muslim saja, tetapi Non-Muslim pun bisa menikmatinya. Apabila masyarakat non-Muslim ingin menikmati layanan perbankan syariah maka perlu diatur secara jelas teknis transaksinya (ijab-qabul) yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh pribadi konsumen. Sistem ekonomi Syariah, atau adakalanya disebut "ekonomi Islam", semakin populer bukan hanya di negara-negara Islam tapi bahkan juga di negara-negara barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya beroperasi bank-bank yang menerapkan konsep syari'ah. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam perekonomian bisa diterima di berbagai kalangan, karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif.
Kedua; Selain penerapan kurikulum bagi anak didik Muslim, maka sistem perbankan syariah pun sangat perlu diperkenalkan kepada anak didik non-Muslim. Hal ini bisa memberikan khazanah keilmuan dan secara ekonomis akan merekrut pangsa pasar di masa depan.
Ketiga; Konsep Islam sebagai Rahmatan Lilaa'lamiin bisa diciptakan disini melalui kerjasama dengan warga non-Muslim untuk bersinergi melalui pemberdayaan ekonominya. Secara politis melalui visi dan misinya, perbankan syariah tidak hanya terfokus kepada pemberdayaan ummat Islam saja, tapi perlu masuk ke ranah non-Muslim sehingga keuniversalan nilai-nilai perbankan syariah bisa diterima oleh semua pihak. Bila kondisi ini bisa tercipta, maka hal ini akan ikut membantu menciptakan suasana harnomis antar agama dan keyakinan. Sehinga tidak ada lagi konflik antar agama dan keyakinan.
Melalui upaya dan pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan secara persuasif, berkesinambungan dengan asas humanisasi konsumen dan universalisme nilai-nilai perbankan itu sendiri, maka diharapkan perkembangan perbankan syariah bisa melebihi sistem perbankan konvensional yang selama ini sudah mendarah daging dibenak masyarakat. Amiin.
[1] Ali Maksum, Pengantar Filsafat; dari masa klasik hingga postmodernisme, Ar-Ruz Media: Yogyakarta, 2008. Hal. 311
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H