Mohon tunggu...
epul katama
epul katama Mohon Tunggu... -

Menapaki jejak kaki sendiri, . .

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senandung Hati Zahra

29 April 2011   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Muka Zahra memerah setelah mendengar kabar dari Saidah, benarkah Fathur menitipkan salam kepada Saidah? Benarkah apa yang diceritakannya bahwa Fathur mengajak pulang bersama di akhir pekan. Zahra setengah mimpi, ia gelisah, sepertinya tidak ada kursi yang enak untuk diduduki, seakan langkahnya di stir oleh kekuatan gaib, bolak-balik bak setrikaan. Sesekali ia menatap cermin, melihat wajahnya yang putih memerah, kemudian mencubitnya.

“Aku tidak bermimpi, Ya Allah, tapi benarkah yang dikatakan Saidah?” ia bergumam.

Jika ini memang terjadi, aku akan secepatnya menyampaikan kepada Ummi, dialah pemuda yang ingin aku jadikan imam di kehidupanku, Aku akan menceritakan bahwa dialah orang yang selama ini Ummi tanyakan, Ummi harapkan.

“Zahra, kapan kamu mau menikah” itu yang selalu Ummi sampaikan jika aku pulang diakhir pekan.

“iya Ummi, Zahra juga sedang istikhoroh, meminta petunjukNya, bukankah Ummi menginginkan menantu yang Sholeh, yang bias membimbing Zahra” jawabku, tersenyum.

“Selalu saja begitu jawabanmu nduk” Ummi selalu kecewa, sebenarnya aku tidak sedikitpun berkeinginan mengecewakan Ummi, hanya saja, Allah belum memberikan petunjuk, siapakah yang sebenarnya yang aku ingin jadikan pendampingku, Imamku.

Dua Minggu kemarin, Ustad Lutfi yang katanya ingin mengkhitbah (melamar) ku, tapi ternyata Pak Kiyai Idris tak mengizinkan, apalagi katanya Ustad Lutfi itu, walaupun lulusan Al-Azhar dia sudah pernah menikah di Mesir sana, tapi perjalanan keluarganya gagal, dan ia menelantarkan istriya di sana. Tadinya tidak ada yang tau, namun akhirnya, tetap aib itu terdengar juga.

Belum lama ini, sekitar 5 harian yang lalu, aku ditunjukan oleh Pak Kiyai Idris seorang Ustad, ia tidak pernah kuliah di luar negeri, a’lim, hafidz lagi, aku sudah tawakal, jika saja pak Kiyai meminta Ustad tersebut mengkhitbahku, namun, ternyata pemuda yang bernama Zaky ini lebih dulu ditunangkan oleh orang tuanya dengan putri salah seorang Kiyai di kampungnya.

Dan terakhir, Fathur, seorang ustad baru di Pondok pesantren Al-Amin ini, begitu memikat hatiku, dengan kesopanannya, kealimannya, dan kesholehannya.

“Ya Allah, dosakah hambamu jika jatuh cinta?” Zahra melenguh.

“Ya jelas tidak berdosalah, zahra,” sambil tersenyum Saidah melirik kepadaku, di depan cermin.

Benar juga katanya, Cinta itu fitrah, cinta itu ada, semua manusia yang hidup pasti merasakannya, hanya kita harus pandai-pandai memilih dan memilah, agar langkah yang kita jalani diridloi Allah, aku semakin mengerti, aku semakin faham.

Langit Madura malam ini tampak begitu cerah, bintang bertaburan, temaram cahaya rembulan yang seperempat pun ikut menghiasi pemandangan jagat raya, udara malam berhembus, masih hangat, bekas panasnya Madura di siang hari,  para santri masih khusyu dengan ayat-ayat-Nya, beberapa bawalis (jaga malam) mulai berdatangan ke pos-pos yang ditentukan. Aku dengan Saidah duduk-duduk di depan asrama, menghadap ke arah masjid, pemandangan Masjid Jami’e dimalam hari melengkapi keindahan alam. Subhanallah.

“Ukhti (saudara perempuanku) sudah siap untuk dikhitbah,?” Saidah mengawali obrolan, aku setengah kaget dengan pertanyaan yang dilontarkannya, kali ini.

“aku belum tau Saidah,” jawabku ragu.

“nikah,?” tanyanya kembali.

“Lho, kamu ini, di Khitbah aja aku ragu, apalagi untuk nikah,”

“Tapi kan Ukhti sudah cukup dan siap segalanya,”

‘Iya sikh, apalagi Ummi selalu menanyakan hal itu kepadaku, aku jadi bingung Saidah,”

“Aku kira Fathur lelaki baik ukhti,,, walaupun sepertinya lebih muda dari ukhti,”

Zahra tersenyum, malam itu kebimbangannya semakin memudar, apalagi keresahan hatinya tentang Cinta, setiap waktu, ia selalu meyakinkan diri, bahwa suatu saat nanti Fathur melamarnya, dan akan menjadi pendamping hidupnya, itulah Cinta.

“Ustadzah Zahra,,,” panggil salah seorang santriwati, mendekat dengan tergesa

“Ustadzah, dimohon datang ke kediaman Kiyai Imron ba’da Ashar,” katanya setengah berbisik.

“Kiyai Imron?, ada apa yah” Zahra penasaran.

“Ya Syukron,” ungkapnya sambil tersenyum, kemudian santriwati tersebut berlalu.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun