Serupa itu juga aku saat ramahnya hidupku walau aku hanya insan
makhluk kecil nan hina tetapi senyumku tak pernah palsu ecek-ecek
untuk semua telah berpaling atau masih bisa tegak berdiri sendiri
batas hidup segayung dendam geram membasahi jiwa sesudah senja
dikejar malam penutup langitmu kutersentak sendiri dalam peraduan
Semampang hadir sang kekasih mungkin jadi pengobat luka tak duka
nyana kau jalan menghampiri lepas kutanya makna rindu tiada suara
tiang sendi dan tulang rusukku menerbitkan sebongkah serpihan
ibarat secercah noktah akan tetapi aku masih tetap tegak berjejak
bila hadir sang kekasih kutiriskan kalbu kuncup harumnya bunga
Sungkem di telapak surga menjejaki akar perjalanan ekspedisi
sesudah malam larut bergerak hening menuliskan keindahan dalam
ramai setakat tembus dalam ruang dan waktu perihal kuterbangkan
takdirnya diatas tanah tandus setakat tembus tilam batu gunung
serentak menghitung situ nan bening selamanya kesejukan sabana
Hijau melenyapkan dibalik terik padang pasir kumelangkah lagi
gerak jantung dan suara nafas bersama cermin keinsafan sebatas
tembus dalam ruang dan waktu mengapung harapan mengarungi
sekelebat mimpi berputar di ruang tulang hitam tanpa berpaling
tiba-tiba jiwaku runggas kini kutahu makna itu setelah aku jauh
Puisi : Edy Priyatna
(Pondok Petir,01 Juli 2016)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI