Lombok, bukan memiliki arti cabai seperti yang sering kita kira. Lombok bermakna lurus yang tertulis pada buku Negara Kertagama pada kalimat 'Lombok Sasak Mirah Adi' zaman kerajaan Majapahit yang artinya masyarakat Lombok memiliki hati yang lurus untuk dijadikan permata kejayaan. Seperti pengertiannya, begitu juga yang saya rasakan saat berkunjung ke Lombok.
Ramahnya masyarakat Lombok dari kota hingga desa, dari pesisir pantai hingga daerah dataran tinggi menemani saya saat menjelajah Lombok. Keramahan yang dipadu dengan indahnya alam Lombok yang begitu memesona menjadikan Lombok sebagai tujuan wisata yang harus masuk ke dalam daftar utama tempat wisata yang wajib dikunjungi.
Masyur dengan Gili Trawangan, Air dan Meno di barat laut dan lokasinya yang dekat dengan pulau Bali menjadikan Gili-gili tersebut menjadi destinasi favorit di Lombok.Â
Tidak sulit untuk menemukan penyebrangan ke gili Sudak, dengan aplikasi penunjuk jalan di smartphone sudah cukup jelas mengarahkan jalan. Dari Mataram sekitar satu setengah jam menggunakan kendaraan roda dua dengan mengambil titik tujuan Penyebrangan ke Gili Sudak.
Nikmati saat masuk jalan Raya Sekotong -- Lembar, bukit-bukit dengan padang rumput kuning kecoklatan, gradasi laut toska dan biru gelap, awan seperti kapas  lembut yang melayang serta suasana pelabuhan Lembar menjadikan perjalanan yang tidak membosankan.
Kami ragu saat aplikasi mengarahkan ke jalan tanah merah berbatu. Tiba-tiba seorang ibu yang sepertinya melihat keraguan kami dengan ramahnya menyapa lalu menanyakan tujuan kami.Â
Ibu yang tidak sempat saya tanyakan namanya memberitahukan kalau jalan tersebut memang jalan menuju penyeberangan Gili Sudak. Masuk ke area pemukian sudah terdapat banyak plang-plang yang menyediakan jasa perahu penyeberangan. Kami disambut dengan tawaran-tawaran jasa penyeberangan dengan ramah tanpa paksaan.
Jenis, ukuran dan lokasinya harus sesuai ketentuan, pilih-pilih. Bukan karena nantinya tidak laku saat dijual, tapi untuk menjaga kelestarian biota laut di perairan Sekotong. Hasil tangkapan Pak Nasar dijual di homestay dan restoran di area Gili Sudak.
Gili Naggu menjadi pemberhentian pertama. Lokasinya terluar diantara Gili-gili lainnya di area Sekotong. Sudah banyak homestay dan resort disini dan cukup ramai dikunjungi.Â
Perahu tidak boleh sembarangan menepi karena terdapat kawasan konservasi terumbu karang. Perahu hanya bisa menepi di area dekat dermaga yang dasarnya pasir. Kearifan lokal dalam mengelola sumber daya dan menjaga lingkungan berhasil menjaga keindahan bawah laut di gili Nanggu.Â
Terumbu karang cukup dangkal, jadi kita harus berhati-hati saat snorkeling agar tidak merusak terumbu karang.
Berbeda dengan Gili Naggu, Gili Sudak lebih sepi pengunjung hanya terdapat beberapa orang yang santap siang. Di Gili Sudak juga terdapat homestay. Kondisi bawah laut Gili Sudak agak memprihatinkan ditambah dengan jarak pandang yang rendah sehingga saya tidak berlama-lama di dalam air.Â
Jarak Gili Sudak dan Lombok yang cukup dekat membuat wisatawan yang menginap di Lombok hanya menggunakan kano ke Gili Sudak hanya untuk makan siang. Sebelum kembali ke Lombok saya singgah di Gili Kedis, ukurannya lebih kecil dari ukuran lapangan sepak bola.Â
Di Gili Kedis kita harus membayar restribusi. Cobalah memutari pulau, terdapat  sisi yang hanya berupa pasir dan sisi lainnya berbatu. Cocok untuk yang suka fotografi.
Sambil antre bilas dan bersih-bersih, kami menikmati pisang goreng dan teh hangat buatan istri pak Nasar yang ternyata adalah ibu yang memberitahukan jalan saat kami kebingungan.Â
Jika dibanding dengan Trawangan, Gili di area Sekotong masih kalah jauh fasilitasnya. Namun bagi yang menyukai suasana yang lebih tenang dan alam yang masih asri, tempat ini dapat dijadikan salah satu tujuan berlibur di Lombok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H