Mohon tunggu...
Epi Sulandari
Epi Sulandari Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Tiga Orang Anak

Pecinta nasi; pemerhati pangan; wanita yang bercita-cita menjadi istri dan ibu yang solehah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Habiskan Nasimu Nak.....

28 Juli 2019   08:53 Diperbarui: 28 Juli 2019   08:56 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpikir tentang pangan, seperti berpikir tentang belahan jiwa.  Tanpanya hidup terasa lapar. Sedikit ada bau harum aroma masakan dari dapur, sudah kepingin rasanya menggigitnya.  Sedikit ada rongga udara di perut, sudah kepengin rasanya mengunyah.  

Tapi pernahkah terpikir bagaimana alur sebutir nasi sampai di meja makan? Bagaimana petani - seorang pahlawan pangan - bekerja keras untuk menjadikan belahan jiwamu tersedia di hadapanmu.

Bahasa dramanya adalah perjuangan pahlawan pangan untuk mengantarkan sebutir gabah dari padi sawah sampai menjadi nasi di meja makan setiap keluarga Indonesia.  Bahasa resminya adalah perjuangan petani untuk menjaga ketahanan pangan bagi setiap individu.  

Pangan terjaga untuk selalu tersedia; dapat dijangkau oleh setiap kalangan sampai dengan individu baik secara fisik maupun ekonomi; dan masing-masing rakyat dan penduduk Indonesia yakin esok hari masih mendapatkan pangan.

Cerita ini memang bukan cerita baru.  Tetapi heroisme ini perlu kita tularkan kepada anak cuku generasi kita sebagai bagian dari kebanggan menjadi bangsa pertanian di saat semua orang sudah sibuk dengan digitalisasi. Sebuah keyakinan pribadi bahwa kita tidak bisa kenyang hanya dengan memandang gambar makanan.  

Tetap dibutuhkan makanan secara fisik yang ter-delivery sampai di mulut kita dan sari-sarinya pada akhirnya masuk dalam setiap tetes darah kita.  Memperkuat otak kita sehingga menjadi semakin cerdas, dan memperkuat raga kita untuk menjadi lebih kuat.

Menggambarkan dan menceritakan perjuangan petani padi (dan pangan lain termasuk peternak dan nelayan) untuk dapat menyediakan pangan kepada setiap rumah tangga Indonesia, perlu ditularkan kepada anak-anak kita. Dari sisi perjuangan petani padi yang mengawali dengan mengolah sawahnya.  

Kerbau atau traktor mereka giring ke lahan sawahnya sehingga lahan sawahnya siap untuk ditanami padi.  Badan dan pakain yang dikenakan berlepotan tanah, tapi jiwanya bersih dengan niat tulus menyediakan pangan bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain.  Satu point yang perlu dicatat oleh anak-anak kita, bahwa petani tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri.

Langkah berikutnya dilanjutkan dengan memilih benih yang bagus untuk dapat menyediakan beras yang banyak dan bermutu (kuantitas dan kualitas) untuk disemaikan di sebagian lahannya. 

Pemilihan benihnya pun dilakukan dengan sebuah niat iklhas agar semua orang mendapatkan pangan yang cukup, sehat dan aman.  Yakinlah bahwa petani menginginkan benih yang menghasilkan padi yang banyak dan enak.  Tidak ada niatan untuk menghasilkan panen yang buruk. 

Belum berhenti di situ.  Beberapa minggu kemudian, petani memindahkan semaiannya dalam baris-baris rapi padi di sawahnya.  Barisan rapi laksana shaft sholat berjamaah, yang khusuk bertasbih kepada Allah SWT berharap dapat tumbuh menjadi serumpun padi yang bernas dan menghasilkan butiran gabah y ang banyak.  

Atau barisan rapi para tentara yang siap melaksanakan perintah menjaga kedaulatan bangsa agar tidak terintervensi oleh negara lain.  Semua orang merasakan sejuk atas alunan tasbih padi kecil di lahan sawah petani.  Semuanya berharap yang terbaik. 

Setiap hari, Pak dan Bu Tani akan menengok sawahnya.  Mengusir hama dan tumbuhan liar yang menggangu.  Bak menjaga anak-anaknya, para petani menggunakan berbagai cara untuk mengusir hama dan penyakit tanamannya.  Para peneliti bahu membahu untuk menemukan cara terbaik, termudah dan termurah untuk menjaga padi di sawah.  Padi dijaga baik-baik dengan harapan akan dapat panen yang terbaik.  

Di bawah terik matahari, beliau para pahlawan pangan tak henti-hentinya menjaga dan merawat padi-padi. Tak peduli seberapa legam kulit pahlawan pangan terbakar matahari.  Tak peduli bahwa beliau harus makan di pinggir sawah dengan kederhanaan.  Namun dengan semua niat baik dan hati bersih, semua dilakukan dengan tanpa mengeluh, dengan senyum merekah karena bayangan hamparan padi menguning yang siap panen akan mereka tuai.

Akhirnya semua menunggu, seberapa banyak dan bagus butir-butir padi akan muncul.  Para petani semakin dalam dan hati-hati merawatnya, para tengkulak mulai berkeliaran untuk mengumpulkan butiran-butiran gabahnya, para penggilingan mulai memanaskan mesin pengering dan penggilingan, Pemerintah mulai waspada akan gangguan pasokan dan harga, para pedagang mulai berhitung waktu menyimpan dan melepas stoknya; dan para ibu sudah menyiapkan dapurnya untuk memberikan asupan gizi keluarganya.

Perjuangan sampai dengan (rata-rata) 110 hari menyiapkan pangan buat kita, para petani dengan badan berlepotan lumpur dan terbakar matahari, patutlah kita apresiasi dengan menghabiskan setiap butir nasi yang sudah dimasak dan kita ambil di piring kita.  Sebuah langkah sederhana.  

Menghabiskan sampai dengan butir nasi terakhir di piring kita.  Alangkah sedihnya para petani jika ada sisa butir nasi yang terbuang karena untuk mendapatkan sebutir nasi tersebut penuh dengan perjuangan.  

"Habiskan nasimu Nak.......".  Jangan pernah kau lukai hati para pahlawan pangan seberapa pun kau sanggup membayar harga nasinya.  (es2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun