Jihan terkejut, dihitung-hitung udah lebih lima belas mata gergaji patah. "Fitri. Ambil mata gergaji baru yang di dalam tas", Teriak Jihan. Mata gergaji yang ke enam belas diberikan ke Jihan. Jihan memasangnya ke lorok gergaji. Kemudian dipotongmya lagi tangkai gembok kunci goa yang amat misterius itu. Sekali memotong sekali disiramnya dengan air yang disediakan Fitri.
"Fitri, apa yang kau tau tentang isi goa ini, pasti ada harta karun yang banyak, seperti yang pernah kukatakan dulu sebelum aku di penjara karena ulahmu", Celetuk Jihan sambil terus memotong tangkai gembok yang menutup dua pintu goa Aneuk Laot.
Fitri terdiam, ia teringat masa-masa kelam yang pernah dialaminya bersama Amran, sampai dia menjebak Jihan. Tapi semuanya telah terjadi. Sekarang dia berharap pintu goa bisa segera terbuka. Tentu di dalamnya ada harta karun peninggalan tentara Jepang.
Jihan melirik kekiri, dilihatnya Fitri tertidur pulas. Entah karena lelah menunggu, entah karena mimpi indah. Namun semuanya tidak dihiraukan  Jihan.
Tangan Jihan terus saja bergoyang-goyang memotong tangkai gembok tua karatan peninggalan Jepang. Ini goa yang ke sebelas, goa terakhir, dan juga mungkin goa harapan.
Tujuh peta harta karun milik ayahnya telah terbakar sijago merah ketika dia kuliah dulu. Peta-peta itu disimpannya dalam sebuah tas di sebuah ruangan kegiatan mahasiswa, Gedung Gelanggang Unsyiah. Tapi malam itu naas, gedung Gelanggang Mahasiswa terbakar, terbakar sekalian harapan ayah dan harapan Jihan yang telah direncanakan bertahun-tahun.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi "krak", mata gergaji yang ke enam belas patah. "Busyet, ini mata gergaji terakhir" tubuh Jihan lemah lunglai. Dibantingnya gagang gergaji kepintu goa. Tapi tiba-tiba pintu besi yang karatan itu terlekang dari mulut goa. Jihan kekagetan. Dengan cekatan ditariknya tangan Fitri dari hantaman pintu goa.
Mata Jihan kembali tertuju kemulut goa yang sudah terbuka lebar. Antara senang dan was-was, Jihan mendekati pintu goa. "Hati-hati", Â Teriak Fitri. Tiba-tiba Jihan berhenti, matanya liar mengawasi lingkungan sekitar. "Semoga tidak ada manusia yang melihat kita", Bisik Jihan pada Fitri.
Jihan memperhatikan sebuah tulisan "Japan 1940" tulisan itu sudah karatan, terukir di pintu bagian dalam. "Berarti benar ini goa milik tentara Jepang, mudah-mudahan kali ini kami beruntung" Bisiknya dalam hati.
"Fitri, Ambil senter  di saku ransel bagian depan, goa ini sangat gelap",  perintah Jihan. Dengan sangat hati-hati mereka melangkah kaki ke mulut goa. Fitri berjalan di belakang Jihan. Ada rasa ketakutan di hatinya. Tapi tak berani diungkapkan di depan Jihan. Diam berarti selamat, pikirnya.
 Sebenarnya Fitrilah yang paling bernafsu memasuki goa. Dia ingin mengulangi kembali petualangan ayahnya lima puluh satu tahun yang lalu. Menurut pamannya, satu hari sebelum Indonesia merdeka, empat orang tentara Jepang didampingi dua orang pribumi menaiki gunung Aneuk Laot. Dua orang pribumi membawa sebuah peti seukuran tas enam kilo.Â
Sementara empat tentara lainnya mengawasi dengan senapan laras panjang dari belakang. Tak lama setelah mereka menghilang di balik hutan, tiba-tiba terdengar dua kali suara dentuman. kemungkinan dua orang pribumi pembawa peti ditembak mati oleh tentara Jepang. Sebab hanya empat tentara Jepang yang turun dari gunung.
Dua hari setelah  tentara Jepang meninggalkan Pulau Sabang, Ayah Fitri mendaki gunung Aneuk Laot. Dia mendapatkan tumpukan tanah bekas galian.
Singkatnya, sembilan  tahun  setelah kejadian itu, ayah Fitri diam-diam menggali tumpukan tanah itu. Di kedalaman  satu meter dari penggalian, Ayah Fitri menemukan satu lempengan besi karatan, mungkin sejenis tutup peti. Hal inilah yang membuat ayah Fitri  semakin bersemangat. Penggalian dilanjutkan pada hari kedua. Namun hal yang tidak terduga terjadi. Ayah Fitri menemukan sejumlah rambut manusia yang membuatnya jatuh pingsan.
Untung ada  seorang tukang kebun yang kebetulan melewati tempat penggalian itu. Tukang kebun menggotong ayah Fitri sampai ke pemukiman penduduk. Kejadian ini menghebohkan masyarakat. Sejumlah TNI Anggkatan Darat mendatangi tempat penggalian. Mereka mencoba melanjutkan penggalian. Tapi nihil, galian tertutup oleh sebuah batu yang amat besar. Kerena tidak berhasil, akhirnya mereka menancapkan empat tiang beton dari semen, dan tertulis "Milik Negara". Sampai akhirnya ayah Fitri meninggal dunia, galian misteri itu tak pernah lagi dipedulikan orang.
Fitri terkejut dari lamunan, di depannya ada belasan peti besi. "Kita harus membukanya dengan hati-hati", Jihan mengingatkan. Dengan sedikit ketakutan, Jihan membuka peti yang pertama. "Kosong" Teriaknya parau. Jihan segera membuka peti yang kedua. "Kosong juga" Teriaknya lesu.Â
Akhirnya Fitri ikut membuka semua peti besi, hasilnya nihil. Belasan peti besi itu sudah dalam keadaan kosong. "Ini benar-benar kurang ajar, tentara Jepang sangat licik, dia tidak meninggalkan apa-apa untuk kita", Darah Jihan mendadak panas.
Fitri menyorot senter kearah sisi kiri dinding goa, di sana ada sebuah pintu ukuran kecil. Dengan hati-hati ia mendekati pintu itu. Di dalamnya lebih gelap dan berbau tanah. Pintu itu ditutupi sarang laba-laba. Di bagian sisi kirinya ada coretan-coretan berbahasa Jepang. Kira-kira ada empat kalimat pendek. Hanya kalimat paling bawah yang bertulisan latin "Nipon 1940". "Jihan, coba baca tulisan ini mungkin bisa jadi petunjuk". Jihan memperhatikan tulisan itu dengan saksama. "Huh, aksara Jepang, mana aku ngerti, bahasa inggris saja aku tak paham" Balas Jihan.
Tapi Jihan tak hilang akal. Tulisan itu difotonya dengan android. "Ide yang bagus, kirimkan fotonya ke Kakak saya, dia bisa bahasa Jepang", Kata Fitri.
"Ini saya kirim ke WA kamu, biar kamu saja yang kirim ke kakak. Tapi jangan bilang-bilang klo kita lagi di goa. Aku tak ingin kita diolok-olok lagi".
Fitri mengambil HP androidnya di saku tas pinggang bagian depan. Ditekannya logo WA dengan ujung telunjuk jari kanan. "Mana fotonya, kok belum dikirim?". Tanya Fitri gak sabar. "Huh, tak ada sinyal, goa ini sangat tertutup. Atau ada radiasi yang menghalangi sinyal" Jawab Jihan kesal.
"Lihat, di sebelah sana sepertinya juga ada pintu", Kata Fitri setengah berteriak. Sekilas pintu itu kelihatannya masih utuh. Tapi sisi sebelah kirinya ada bekas congkelan. Sedang sisi atasnya ada goresan hitam berbentuk anak panah, ujung runcingnya mengarah ke bagian bawah pintu.
Fitri dan Jihan seperti tak tahan lagi ingin segera mengetahui apa isi di balik pintu kecil itu. Alangkah tekejutnya mereka, belasan bungkusan indomie kosong berserakan di ruangan itu. Seperti tak percaya, Jihan langsung terduduk lunglai. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Tapi tiba-tiba dia menyoroti wajah Fitri dengan senter. "Bagaimana mungkin ada bungkusan mie instan di sini, bukankah goa ini tertutup rapat?" Â Tanya Jihan keheranan.
"Ah, jangan-jangan ini bungkusan indomie peninggalan tentara Jepang, coba lihat tahun kadaluarsanya?" Perintah Jihan. Mereka meneliti tahun kadaluarsa. Tertulis angka "Exp: 08/2012". Kembali Jihan terduduk lunglai, lemas tak berdaya.
"Lihat ini", Teriak Fitri. Belasan bekas bungkusan nasi berserakan di sudut ruangan. Kini Fitri pula yang terjatuh. Semua harapan mereka kandas di ruangan segi empat sama sisi. Harapan semua keluarga mereka. Harapan yang sudah bertahun-tahun direncanakan.
Namun tiba-tiba dari arah luar ruangan terdengar sesuatu bunyi yang mencurigakan. Makin lama bunyi itu makin dekat. Serentak mereka berdiri dan bersiap-siap menghadapi sesuatu yang gak mereka inginkan. Fitri mengeluarkan sebilah pisau bermata panjang dari pinggangnya. Pelan-pelan mereka intip keluar. "Sialan, gerombolan babi" Teriak Jihan. Teriakkan Jihan terlalu keras, membuat lebih kurang lima belas ekor babi berlarian keluar goa.
"Ada yang gak beres, ayo kita telusuri goa ini" Jihan mengajak Fitri masuk ke goa lebih dalam lagi. Setiap sudut goa mereka soroti dengan senter. Sudah lebih separuh goa mereka teliti. Betapa terkejutnya mereka,  ternyata bagian gua paling ujung bolong, terbuka lebar kearah laut. Teka-teki terjawab sudah, tapi peta harta karun warisan  almarhum ayah mereka masih misteri dan tanda tanya besar.
Sabang, 18 Oktober 2019
Enzuharisman, S. Pd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H