"Apaan sih Lu!" Danisa bersungut-sungut.
"Sebenarnya ada urusan apa hantu Bang Na'in kerumah mak Jilah?"Â Adih berusaha cari tau.
"Katanya mak Jilah mengiklaskan hutangnya Bang Na'in". Pinah sang informan melengkapi hasil ngupingnya.
Sejak cerita itu beredar, jalan yang biasanya ramai dengan anak-anak yang bermain, sekarang jadi sepi. Bahkan untuk pergi mengaji ke langgar saja mereka harus berlari-lari melewati kebun kelapa yang tidak cukup cahaya.
Langgar tempat anak-anak mengaji terletak di sebelah barat Gang Cincau, berseberangan dengan kebun kelapa yang agak luas. Jadi mau tidak mau, anak-anak Gang Cincau harus melintasi kebun kelapa itu untuk sampai ke langgar tempat mereka mengaji selepas magrib.
Disiang hari kebun kelapa menjadi ajang bermain anak-anak untuk berlatih memanjat sampai keatas. Anak laki-laki maupun anak perempuan sama saja, sebagian dari mereka suka manjat pohon kelapa, bukan untuk memetik buah kelapa, tapi untuk menandai sampai setinggi apa masing-masing sanggup memanjat. Masing-masing menandainya dengan megerat pada batang pohon. Biasanya makin hari kemampuan anak-anak makin tinggi, meskipun tidak ada satupun dari mereka yang pernah bisa sampai ke tempat tertinggi.
***
Selepas magrib, Danisa, Upik, Helia, Pinah, Adih, Topik, Esih bersama-sama berjalan menuju langgar untuk mengaji.
"Kita jangan lari ya saat melewati kebun, nanti yang lebih kecil tertinggal" Esih mengingatkan
"Iya kita jalan saja cepat-cepat, tapi tetap bersama, yang lebih kecil digandeng"Â Helia menambahkan.
Sampai di langgar suasana tambah mencekam, karena didalam kelas, dibagian belakang, berdiri dengan angkernya keranda mayat tempat mengusung jenazah, disandarkan ke tembok.