I. Pendahuluan
Kajian budaya adalah suatu cara pandang teoretis mengenai suatu objek dengan perspektif bidang kritik ilmu sastra, sosiologi, sejarah, komunikasi, dan disiplin ilmu atau ilmu studi lainnya. Kajian budaya merupakan bidang interdisipliner yang mengambil berbagai cara pandang dari ilmu lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan dengan politik atau kekuasaan. Objek kajian budaya tidak hanya dipahami secara sempit mengenai seni atau kebudayaan, tetapi juga menyetuh kehidupan sehari-hari manusia yang menyangkut budaya populer. Namun, kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian budaya populer walaupun proyek utama kajian budaya adalah mengkaji budaya populer. Teks, sebagai objek kajian, dalam kajian budaya tidak hanya dipandang secara sempit, tetapi dipandang menyentuh unsur subjektivitas dan latar belakang sosial yang membentuk sebuah teks.[1]
Apa yang dimaksud dengan "budaya" dalam kajian budaya bersifat lebih politis daripada estetis. Budaya yang menjadi objek kajian budaya bukanlah budaya sebagai objek yang bernilai seni tinggi. Budaya yang dimaksud bukan pula dalam pengertian sebuah perkembangan seni, intelektual dan spiritual. Budaya yang menjadi objek kajian budaya adalah budaya sebagai teks dan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian objek kajian budaya bisa mencakup budaya populer yang mungkin tidak dianggap bernilai seni tinggi, bahkan salah satu proyek terpenting dalam kajian budaya adalah mengkaji budaya populer.[2]
Budaya populer adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan masyarakat.
Budaya populer dipandang sebagai sesuatu yang sepele dalam rangka mencari penerimaan konsensual melalui yang arus utama. Akibatnya, budaya populer muncul dari balik kritisisme sengit dari berbagai sumber nonarus utama (khususnya kelompok-kelompok agama dan kelompok kontra budaya) yang menganggapnya sebagai superfisial, konsumeris, sensasionalis, dan rusak.
Istilah "budaya populer" muncul pada abad ke-19 atau lebih awal[3] untuk merujuk pada pendidikan dan "culturedness" pada kelas bawah. Istilah tersebut mulai menganggap pengertian budaya kelas bawah terpisah (dan terkadang bertentangan dengan) "pendidikan sejati" menuju akhir abad, penggunaan yang kemudian menjadi mapan ketika periode antar perang.[4] Budaya populer juga sering kali didekatkan dengan istilah 'mass culture' atau budaya massa, yang diproduksi secara masal dan dikonsumsi secara masal juga. Jadi, budaya lokal adalah produk budaya yang bersifat pabrikan, yang ada di mana-mana dan tidak memerlukan usaha untuk mengkonsumsinya.[5]
Rujukan tentang pandemi COVID-19 dalam budaya populer dimulai saat pandemi masih berlangsung. Terlepas dari dampak yang merusak dari pandemi COVID-19, itu menyatukan orang melalui mode hiburan yang memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan budaya populer. Pandemi melanda Indonesia di sekitar Maret 2020, menyebabkan gangguan ekonomi dan sosial besar-besaran, yang bahkan masih berlangsung saat penulis menulis tulisan ini (tulisan ini saya tulis pada hari Senin, 5 Juli 2021). Selain penyakit itu sendiri, masyarakat sering berurusan dengan kebijakan PSBB/PPKM, krisis, dan juga kelangkaan. Ini telah membuat era pandemi menjadi masa stres yang luar biasa. Pandemi telah mendorong masyarakat untuk mencari pelarian damai lewat media-media daring. Musik adalah salah satu media yang dipilih banyak masyarakat untuk meredakan emosi yang ditimbulkan oleh pandemi.
II. Isi
Masa Pandemi COVID-19 ini rasanya sudah sangat merubah diri kita, baik dari sisi sosiologis ataupun psikologi. Tidak sedikit dari yang sudah berubah keperibadiannya seiring masa ini yang semakin abu-abu kapan titik terang masa ini akan berakhir. Mulai dari cara bercanda, berbicara, menanggapi, dan lainnya banyak yang secara sadar atau tidak sadar berubah, dan memang fokus perubahan yang saya sebutkan pada dasarnya adalah bidang komunikasi. Namun, bukan masalah perorangan yang ingin saya bahas, yang saya ingin bahas justru bagaimana pandemi yang memengaruhi skena musik di Indonesia, mulai dari materi rilisan yang membahas “Pandemi COVID-19” sampai gelaran acara musik yang harus dilaksanakan secara daring.
Sektor seni yang salah satunya adalah industri musik termasuk bidang yang terdampak pandemi ini. Skena musik Indonesia bagai dihantam tsunami hingga meluluhlantahkan semuanya. Mulai dari rilis lagu yang tertunda, panggung konser yang ditiadakan, penjualan merchandise yang menurun, dan bisa singkatnya bisa dibilang tidak ada apa-apa untuk berkarya ataupun mencari penghasilan. Mungkin, saya tidak perlu lagi membahas tentang COVID-19 mengenai anjuran, peraturan, dan kebijakan yang diambil dan diberlakukan, karena kita sudah sama-sama tau.
Diawali dengan Presiden RI pada 2 Maret 2020 mengumumkan ada 2 WNI yang sudah terinfeksi virus, banyak konser langsung ditunda pagelarannya. Melalui instruksi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta, mengenai peningkatan kewaspadaan terhadap resiko penularan virus, salah satunya adalah menghentikan sementara pelayanan perizinan/non-perizinan secara manual/elektronik yang terkait penyelenggaraan kegiatan atau acara yang dapat menimbulkan kerumunan. Lantas, semua penyelenggara langsung menunda, walaupun dikemudian hari karena tidak kunjung ada titik terang, kegiatannya pun dibatalkan. Contohnya saja, We The Fest, Synchronize Fest, LaLaLa Festival, The Sounds Project, FLAVS, 10th Music Gallery, Hammersonic, Head in The Clouds, dan masih banyak lagi.
Dari beberapa konser yang batal, ada satu yang mengagetkan bagi saya, yaitu Synchronize Fest. Bagaimana tidak? Tim penyelenggara bersiasat menemukan solusinya. Biasanya konser musik identik dengan area terbuka yang luas, dan itu sudah dilakukan mereka sejak 2016 edisi pertamanya. Akhirnya, ditahun lalu mereka menyelenggarakannya melalui salah satu TV lokal, yaitu SCTV.
Pemerintah mulai menghimbau anjuran karantina mandiri dirumah dengan kampanye tagar #DirumahAja, ditambah juga kebijakan PSBB yang diberlakukan. Namun, memang tidak pantas dikatakan seorang seniman/musisi, jika mati kutu karena keadaan. Banyak musisi yang akhirnya berkreasi menciptakan suatu tantangan, dan ada juga yang hanya memeriahkan tantangan tersebut. Contohnya, Erwin Gutawa yang membuat ‘Tutti Challenge’ via Instagram, dan juga Indra Dom Dom dengan ‘#16BarsAtHome’.
Banyak juga musisi yang tetap menggarap album ditengah pandemi ini. Contohnya saja, Pamungkas, Dialog Dini Hari, Moon Gang, Elephant Kind, HEALS, White Shoes and The Couples Company, Mooner, The S. I. G. I. T., dan masih banyak lagi. Ada juga musisi yang melihat celah bisnis di masa pandemi ini dengan cara menjual merchandise berupa masker kain/scuba, antara lain adalah, The Brandal’s, Goodnight Electric, Tashoora, Alexa, dan lainnya yang terlalu banyak jika disebutkan satu per satu.
Beberapa musisi yang secara insentif masuk ke ranah virtual, dengan platform Youtube. Contohnya saja adalah, David ‘Naif’ dengan channel David Bayu TV, Eka ‘The Brandal’s’ dengan channel Diskas!, Buluk ‘Superglad’ dengan channel Catatan Si Buluk, Ahmad Dhani dengan channel Video Legend, dan ada juga Ari Lasso dengan channel Ari Lasso TV. Saya rasa Youtube dipilih sebagai media sarana yang dipakai musisi untuk mendistribusikan dan mempromosikan rilisan karya terbarunya atau juga sekedar memberi kilas balik rilisan yang sebelumnya atau bahkan untuk branding dirinya sendiri. Satu lagi, tentu saja untuk meraup keuntungan dari adsense atau pun liker, commenter, dan subscriber.
Yang tak kalah menarik adalah beberapa rilisan lagu yang dibuat untuk melampiaskan kekesalan, kepenatan, dan segala curahan hati saat pandemi. Contohnya seperti, Dialog Dini Hari dengan lagunya berjudul Garis Depan, Payung Teduh dengan judul Renung, Hindia dengan judul Setengah Tahun Ini, Iga Massardi dengan judul Krisis Hiburan, Saykoji dengan judul #DIRUMAHAJA, dan masih banyak lagi rilisan lagu musisi yang terinspirasi oleh pandemi, atau paling tidak ada juga yang menyisipkan lirik kritikan atau sindiran.
III. Kesimpulan
Disini dapat kita lihat perubahan signifikan yang dibuat Pandemi COVID-19 terhadap industri musik, dari membuat terbengkalai sampai bisa dijadikan inspirasi. Pasang-surut memang ada tetapi, seperti yang kita lihat, industry ini takkan pernah mati. Disini tulisan ini saya tidak membahas kritisisme industry music terhadap pemerintah di masa pandemi. Namun, bisa kita lihat Pop Culture kritik yang terus timbul dari bidang seni, terkhusus yang diciptakan industri musik Kembali dengan penjelasan saya tenang kajian budaya dan budaya pop. Inilah Skena musik Indonesia yang bisa dijadikan contoh bagaimana budaya masyarakat mempengaruhi budaya popular dibawahnya. Sila pahami dari penjelasan teori diatas, dan beberapa fakta yang sudah saya bagikan. Terimakasih banyak!
Catatan Kaki
[1] John Storey. John Storey, ed. What’s Cultural Studies? (Cultural Studies: an introduction). (London: Arnold, 1996). Hal. 1-3.
[2] John Storey. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Hal. 2-4.
[3] Johann Heinrich Pestalozzi. The Address of Pestalozzi to the British Public, Soliciting Them to Aid by Subscriptions His Plan of Preparing School Masters and Mistresses for the People, that Mankind May in Time Receive the First Principles of Intellectual Instruction from Their Mothers. (Universitas Lausanne: I. S. Fiva, 1818).
[4] Gloria Steinem. Outs of pop culture. (Majalah LIFE: 20 Agustus 1965). Hal. 73.
[5] Henry Subaktio dan Rachmah Ida. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H