Dari beberapa konser yang batal, ada satu yang mengagetkan bagi saya, yaitu Synchronize Fest. Bagaimana tidak? Tim penyelenggara bersiasat menemukan solusinya. Biasanya konser musik identik dengan area terbuka yang luas, dan itu sudah dilakukan mereka sejak 2016 edisi pertamanya. Akhirnya, ditahun lalu mereka menyelenggarakannya melalui salah satu TV lokal, yaitu SCTV.
Pemerintah mulai menghimbau anjuran karantina mandiri dirumah dengan kampanye tagar #DirumahAja, ditambah juga kebijakan PSBB yang diberlakukan. Namun, memang tidak pantas dikatakan seorang seniman/musisi, jika mati kutu karena keadaan. Banyak musisi yang akhirnya berkreasi menciptakan suatu tantangan, dan ada juga yang hanya memeriahkan tantangan tersebut. Contohnya, Erwin Gutawa yang membuat ‘Tutti Challenge’ via Instagram, dan juga Indra Dom Dom dengan ‘#16BarsAtHome’.
Banyak juga musisi yang tetap menggarap album ditengah pandemi ini. Contohnya saja, Pamungkas, Dialog Dini Hari, Moon Gang, Elephant Kind, HEALS, White Shoes and The Couples Company, Mooner, The S. I. G. I. T., dan masih banyak lagi. Ada juga musisi yang melihat celah bisnis di masa pandemi ini dengan cara menjual merchandise berupa masker kain/scuba, antara lain adalah, The Brandal’s, Goodnight Electric, Tashoora, Alexa, dan lainnya yang terlalu banyak jika disebutkan satu per satu.
Beberapa musisi yang secara insentif masuk ke ranah virtual, dengan platform Youtube. Contohnya saja adalah, David ‘Naif’ dengan channel David Bayu TV, Eka ‘The Brandal’s’ dengan channel Diskas!, Buluk ‘Superglad’ dengan channel Catatan Si Buluk, Ahmad Dhani dengan channel Video Legend, dan ada juga Ari Lasso dengan channel Ari Lasso TV. Saya rasa Youtube dipilih sebagai media sarana yang dipakai musisi untuk mendistribusikan dan mempromosikan rilisan karya terbarunya atau juga sekedar memberi kilas balik rilisan yang sebelumnya atau bahkan untuk branding dirinya sendiri. Satu lagi, tentu saja untuk meraup keuntungan dari adsense atau pun liker, commenter, dan subscriber.
Yang tak kalah menarik adalah beberapa rilisan lagu yang dibuat untuk melampiaskan kekesalan, kepenatan, dan segala curahan hati saat pandemi. Contohnya seperti, Dialog Dini Hari dengan lagunya berjudul Garis Depan, Payung Teduh dengan judul Renung, Hindia dengan judul Setengah Tahun Ini, Iga Massardi dengan judul Krisis Hiburan, Saykoji dengan judul #DIRUMAHAJA, dan masih banyak lagi rilisan lagu musisi yang terinspirasi oleh pandemi, atau paling tidak ada juga yang menyisipkan lirik kritikan atau sindiran.
III. Kesimpulan
Disini dapat kita lihat perubahan signifikan yang dibuat Pandemi COVID-19 terhadap industri musik, dari membuat terbengkalai sampai bisa dijadikan inspirasi. Pasang-surut memang ada tetapi, seperti yang kita lihat, industry ini takkan pernah mati. Disini tulisan ini saya tidak membahas kritisisme industry music terhadap pemerintah di masa pandemi. Namun, bisa kita lihat Pop Culture kritik yang terus timbul dari bidang seni, terkhusus yang diciptakan industri musik Kembali dengan penjelasan saya tenang kajian budaya dan budaya pop. Inilah Skena musik Indonesia yang bisa dijadikan contoh bagaimana budaya masyarakat mempengaruhi budaya popular dibawahnya. Sila pahami dari penjelasan teori diatas, dan beberapa fakta yang sudah saya bagikan. Terimakasih banyak!
Catatan Kaki
[1] John Storey. John Storey, ed. What’s Cultural Studies? (Cultural Studies: an introduction). (London: Arnold, 1996). Hal. 1-3.
[2] John Storey. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Hal. 2-4.
[3] Johann Heinrich Pestalozzi. The Address of Pestalozzi to the British Public, Soliciting Them to Aid by Subscriptions His Plan of Preparing School Masters and Mistresses for the People, that Mankind May in Time Receive the First Principles of Intellectual Instruction from Their Mothers. (Universitas Lausanne: I. S. Fiva, 1818).