Mohon tunggu...
Enok Ratnayu
Enok Ratnayu Mohon Tunggu... Guru - Guru

Enok Ratnayu seorang ibu rumah tangga yang juga seorang guru. Tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, religi, psikologi, filsafat, sastra, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena Strawberry Parents

23 Maret 2023   08:51 Diperbarui: 23 Maret 2023   08:53 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FENOMENA STRAWBERRY PARENTS

Ditulis oleh: Enok Ratnayu

Saat ini banyak artikel atau esai yang membahas tentang Strawberry Generation. Sesungguhnya salah satu penyebab munculnya Strawberry Generation adalah Strawberry Parents. Strawberry Parents adalah gaya didikan orang tua yang memicu lahirnya strawberry generation.

Setiap orangtua pasti menyayangi anak-anaknya. Mereka pasti memiliki harapan bahwa kehidupan anak-anaknya dari segala aspek harus lebih baik dari dirinya. Namun sayang sekali, hal ini banyak dilakukan dengan cara yang salah. Alih-alih anak menjadi generasi tangguh yang lebih baik darinya, malah menjadi generasi stroberi yang sangat rapuh. Kena benturan sedikit saja langsung terpuruk dan ambruk. Atau, sebaliknya, anak malah tumbuh menjadi insan yang sangat tergantung pada orangtua, bersikap kasar dan bringas pada orangtua ketika keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. 

Mereka terbiasa dimanja, terbiasa semua keinginannya terpenuhi. Bila pola asuh ini sudah terlanjur melekat pada anak, maka  orangtua juga sudah tidak berdaya lagi untuk meluruskan karakter anaknya. Di sinilah muncul wujud Strawberry Parents yang tampak jelas, orangtua kalah daripada anaknya, orangtua takut pada anaknya.

Kasus-Kasus Strawberry Parents

1. Saya memiliki kerabat/keluarga/saudara, sekarang usianya sudah lebih dari 30 tahun. Ia laki-laki, sudah menikah dan beranak 3. Sampai sekarang belum memiliki sumber penghasilan yang tetap, apalagi mapan. Sejarahnya, ia lahir dari seorang ibu yang waktu itu sudah berusia 43 tahun. Tentu saja ia merupakan bayi yang sangat didamba, karena sebelumnya, ibunya sudah beberapa kali keguguran. Akibatnya ia sangat dimanja oleh kedua orangtuanya. Hampir semua keinginannya selalu dikabulkan. 

Ketika anak masih kecil, keinginannya pun kecil-kecil, seperti: mainan, es krim, coklat, dll. Namun seiring berjalannya waktu, anak tersebut semakin besar, maka keinginannya pun semakin besar. Dan karena sejak kecil tidak pernah ditolak, maka setiap keinginan harus selalu dipenuhi. Ia ingin motor dipenuhi. Ingin kuliah, ok (ini positif). Ingin nikah pada tanggal cantik, dilaksanakan. Ingin cuti kuliah, dan akhirnya tidak dilanjutkan sampai sekarang. Ingin mobil. Ingin rumah. Dll. Dll. Dll. Semua dipenuhi, dikabulkan. Kini ayahnya sudah almarhum, ibunya sudah sepuh. Anak itu belum berubah. Semua harta orangtuanya habis. Harta dianya juga habis. Rumah dan mobil sudah lenyap. 

Dia belum juga punya kesadaran menghasilkan uang dengan tanggung jawab. Sementara tiga anaknya semakin besar, anak dan istrinya harus dinafkahi. Ibunya sudah menjadi nenek sepuh yang sudah janda, tinggal di rumah lapuk. Sampai saat ini masih saja dirongrong, diminta. Bahkan sang ibu sering hilang uang yang hanya dua puluh ribu rupiah, ternyata diambil anaknya. 

Beras untuk dimasak pun juga sering hilang, sabun untuk mencuci pun harus disembunyikan, kalau tidak ingin diambil sang anak kesayangan. Bahkan seringkali sang ibu dipaksa pinjam uang kepada tetangga karena sang anak membutuhkannya. Sang ibu tidak berdaya, ia pasti mengikuti perintah sang anak, karena sang ibu merasa takut, takut anaknya menyakitinya, karena bila keinginannya tidak dikabulkan, sang anak akan murka merusak, melempar barang-barang yang ada sambil mencaci maki. Ini adalah fakta! Fakta ini sebuah akibat. Siapakah yang harus disalahkan? Anaknya? Atau kedua orangtuanya?

2. Waktu salah satu anak saya kelas 6, kami diundang rapat orangtua ke sekolah. Dalam pembahasan rapat, ternyata ada anak yang sering tidak masuk/bolos, padahal waktu itu ujian tinggal sebulan lagi. Ketika kepala sekolah bertanya kepada orangtuanya, ia menjawab, bila anaknya tidak masuk karena bangun kesiangan. Kepala sekolah bertanya, "Apakah tidak dibangunkan?" Ibunya bilang, "Saya tidak berani membangunkan, karena bila dibangunkan ia akan marah besar dan bisa merusak semua barang yang ada di rumah."

3. Suatu saat ada murid saya yang sudah seminggu bolos, ketika orangtuanya dipanggil, ia mengatakan bahwa anaknya tidak mau sekolah karena keinginannya belum dipenuhi. Ketika saya tanya, anak ini ingin apa? Beliau bilang ingin motor. Sesungguhnya orangtuanya sudah membelikannya motor bekas, tapi anaknya ingin yang baru.

4. Akhir-akhir ini murid-murid saya sering tidak masuk sekolah dengan alasan izin ada kepentingan keluarga. Kalau hanya satu atau dua kali dengan alasan pasti dan rasional, misal kakak menikah ya wajar. Ini ada anak yang setiap minggu ada izin karena kepentingan keluaraga, kan aneh! Bukankah kewajiban utama mereka belajar, apalagi sudah kelas XII! Bukankah mereka belum berkeluarga? Tapi yang mengirim pemberitahuan itu adalah orangtuanya. 

Usut punya usut, ternyata anak tersebut ketika dia malas pergi ke sekolah, merajuk pada orangtuanya untuk dibuatkan surat izin dengan alasan ada kepentingan keluarga. Bila bolos kan catatan merah, dan kalau alasan sakit, takut nanti sakit beneran!

Dari 4 kasus di atas, kita dapat menyimpulkan, betapa lemahnya para orangtua. Mereka betul-betul bermental stroberi! Rapuh dan mudah rusak, tidak berdaya!

Mumpung masih ada waktu, mari kita introspeksi diri, kita renungkan, kita evaluasi cara mendidik dan menumpahkan kasih sayang kita kepada putra/putri tercinta. Sudah benarkah? Apakah pola asuh kita selama ini, akan membuat putra/putri tercinta kelak menjadi generasi tangguh yang siap menjadi pemenang dalam mengarungi zaman; atau malah menjadi pecundang?

#hientikanpraktikstrawberryparents!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun