Fenomena marriage is scary sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun terakhir. Pernikahan dianggap bukan lagi tujuan tapi hanya pilihan.
Marriage is scary atau pernikahan hal menakutkan beberapa waktu terakhir ramai dibicarakan di media sosial. Uniknya bukan hanya dibicarakan tapi bahkan di -aminkan- oleh para netizen. Benarkah pernikahan semenakutkan itu?
Buat yang belum menjalani pernikahan, ini tentu saja pertanyaan besar. Apalagi melihat di sekeliling dan di medsos banyak hal yang membuat pernikahan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami yang tidak bekerja dan tidak sanggup memberi nafkah, perselingkuhan, judi online, kasus mertua dan ipar yang ikut campur hingga semakin meningkatnya perceraian menjadi cerminan semakin meningkatnya pernikahan.
Salah satu kasus KDRT yang ramai dibicarakan baru -baru ini adalah kasus Cut Intan, selebgram sekaligus atlet cabang olahraga Anggar asal Aceh yang video KDRT-nya tersebar dimana-mana. Tentu masih sangat banyak kasus KDRT yang terungkap ataupun tidak terungkap ke publik. Dan rata-rata korbannya memang perempuan dan anak-anak. Bagaimana tidak menakutkan situasi ini.
Belum lagi kasus perceraian. Bukan hanya di kota, bahkan sampai ke daerah-daerah pun, tren perceraian memang semakin meningkat. Akhir Juli lalu, Radar Banjarmasin misalnya menuliskan periode 1-25 Juli 2024, di kabupaten Hulu Sungai tengah (HST) Kalsel, tercatat 241 kasus istri menggugat cerai suami. Dan ada 54 kasus lainnya dimana suami menceraikan istrinya.
Mayoritas kasus perceraian karena memang terjadi pertengkaran yang tidak ada habis-habisnya, tidak ada kecocokan hingga masalah ekonomi. Masalah lain yang mendominasi adalah suami malas bekerja dan terlibat dalam judi online (Instagram Radar Banjarmasin 31/7).
Di lingkup nasional, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan tren pernikahan yang terus menurun selama tiga tahun belakangan. Penurunan paling drastis di 2023. Angka pernikahan menyusut hingga kurang 2 juta pasangan.
Pada 2023, tercatat ada 1.577.255 pernikahan. Angka ini menurun dari 1.705.348 pernikahan pada 2022. Tren penurunan terbesar di DKI Jakarta sendiri menjadi wilayah dengan angka penurunan tren pernikahan yang nyaris ada di level 4 ribu (CNN INdonesia 15/08).
Tren pernikahan yang menurun sebenarnya tidak semata disebabkan oleh beberapa kasus itu saja. Tapi mungkin juga oleh pergeseran budaya.
Budaya persaingan dalam pekerjaan yang sedemikian ketat atau tolak ukur kesuksesan misalnya, membuat anak muda terkuras sudah energinya dalam mengejar karir sehingga urusan pernikahan menjadi nomer kesekian.
Kesulitan memilih pasangan yang sesuai juga banyak dirasakan. Seorang teman misalnya tidak jadi-jadi menikah karena beberapa kali menjalin hubungan tidak menemukan kecocokan.Â
Dia sangat takut kalau tidak cocok di awal akan panjang akibatnya ketika menikah. Akhirnya sampai sekarang tak juga menemukan pasangan yang cocok walaupun usia sudah beranjak lebih dari cukup untuk memulai pernikahan. Dan perlahan tapi pasti, dia juga mulai melupakan keinginan buat menikah.
Energi yang terkuras ketika menikah memang harus diakui sangat banyak.
Bukan hanya soal perubahan diri untuk tak mengedepankan ego pribadi, adaptasi dengan pasangan dan keluarga sampai urusan ekonomi. Apalagi ketika sudah memiliki anak.
Kawan yang lain juga memutuskan untuk mengakhiri pernikahan walaupun sudah 18 tahun menikah dan memiliki empat orang anak. Faktornya salah satunya karena suami dianggap malas buat mencari nafkah bahkan hanya dua tahun pertama menafkahi.Â
Sisanya kawan tersebut yang membiayai keperluan sehari-hari dalam rumah tangga dan membiayai 4 anaknya. setelah 18 tahun akhirnya memutuskan bercerai.
Tapi kemudian dia memutuskan buat menikah lagi setahun kemudian. Kegagalan pernikahan pertama tidak membuatnya takut. Marriage is not scary buatnya.
Marriage is not scary
Pernikahan memang tidak selalu menakutkan dan membuat trauma berkepanjangan. Dalam kasus teman yang saya ceritakan diatas tadi, dia mengatakan kegagalannya menikah hanya karena kesalahannya dalam memilih orang yang salah dan saat menikah usianya memang relatif masih muda dan masih kuliah saat itu.
Memutuskan buat menikah lagi dengan seorang duda yang dianggapnya se visi misi dalam hidup dianggapnya keputusan yang tepat. Apalagi pasangan yang saat ini juga teman se profesinya, ya barangkali lebih "nyambung" dalam obrolannya.
Namun dibalik fenomena marriage is scary sesungguhnya pernikahan memang tak semenakutkan yang bayangkan banyak orang apalagi mereka yang belum pernah menjalani pernikahan.
Tidak dipungkiri memang pernikahan penuh batu terjal yang memang harus dilalui. Tak benar sama sekali bila pernikahan, menurut penulis, isinya kebahagiaan. Yang benar pernikahan isinya lebih banyak perjuangan-perjuangan hidup yang sebenarnya bisa dilalui bersama-sama dengan pasangan.
Siapapun orang yang menjalani pernikahan, rasa-rasanya pasti pernah merasakan masa-masa adaptasi yang tinggi dengan pasangan khususnya di awal pernikahan. Ini butuh perjuangan tersendiri.
Belum lagi masalah-masalah yang tidak bisa diprediksi akan dihadapi setelah mengarungi jalan panjang pernikahan. Mulai masalah anak, ekonomi dan tentu banyak masalah lain.
Namun secara umum, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan mereka yang belum menikah agar pernikahan tak dipandang semenakutkan itu.
* Mencari pasangan yang tepat : tentu tak bisa sempurna banget. Manusia manapun pasti ada saja kurangnya. Tapi paling tidak pasangan yang tepat tersebut yang seiman, calon suami memiliki penghasilan, tidak ada tanda-tanda akan melakukan KDRT di kemudian hari dan hal-hal baik lainnya.
* Komitmen dan keinginan buat terus belajar : belajar tak melulu soal sekolah. Dalam rumah tangga juga perlu belajar khususnya belajar buat saling menghormati, belajar adaptasi bersama, belajar soal keuangan rumah tangga bersama dan belajar-belajar hal lain ketika kelak menikah.
* Jangan terlalu bucin dan pembicaraan pra nikah : mungkin banyak diantara kita yang bucin (budak cinta) ketika belum menikah sehingga beranggapan cinta itu buta. Sedapat mungkin hindari hal ini dan memahami pembicaraan pra nikah sangatlah penting. Misal kesamaan visi misi hidup, pengelolaan keuangan kelak, keinginan mempunyai anak dan membesarkannya dan berbagai komitmen lain.Â
Ya, pada akhirnya, khususnya yang sudah menikah tentu tahu persis pernikahan merupakan komitmen jangka panjang dan tidak bisa main-main. Tapi yang jelas,dan saya rasakan juga, pernikahan nggak semenakutkan yang kini banyak digembor-gemborkan asalkan ada komitmen sama-sama, bahkan sejak awal.
Semoga siapapun yang sudah menikah dimampukan melewati berbagai batu ujian dan mencapai bahagia dan yang belum menikah juga tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang menakutkan dan memandang sebagai ibadah yang memang dianjurkan dalam agama.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H