Mohon tunggu...
Enny Ratnawati A.
Enny Ratnawati A. Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk meninggalkan jejak kebaikan dan menghilangkan keresahan

Enny Ratnawati A. -- Writerpreneur, social worker, suka baca, bersih2 rumah dan jalan pagi --- Tulisan lain juga ada di https://www.ennyratnawati.com/ --- Contact me : ennyra23@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelas Menengah, Hidup Segan Mati Tak Hendak

2 Maret 2024   16:04 Diperbarui: 3 Maret 2024   01:20 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makanya salut ketika beberapa waktu membaca kalau di salah satu kampus negeri, saat ini sudah ada semacam beasiswa buat anak-anak di kelas menengah ini.

Mereka bukan dari keluarga miskin. Mereka juga bukan dari golongan yang sangat-sangat pintar dan gampang dapat beasiswa. Ternyata yang masuk golongan ini cukup banyak.

Mereka adalah mahasiswa anak-anak kelas menengah, yang ketika mau bayar UKT, tiba-tiba orang tuanya kebingungan juga karena tak ada tabungan.

Dananya katanya dikumpulkan dari para alumni kampus tersebut yang sudah sukses untuk pemberian beasiswa kepada adik-adik tingkatnya yang masuk dalam kategori anak-anak yang orang tua mereka masuk dalam golongan kelas menengah.

Wah, semoga kedepannya, makin banyak yang berinisiatif seperti ini. Mereka yang peduli dengan pendidikan anak-anak dari orang tua kelas menengah.

KELAS MENENGAH TERHIMPIT

Guyon soal financial planner memang sudah lama terdengar di kalangan teman-teman sekantor saya. Dengan rata-rata gaji UMR Jakarta saat itu, ya keuangan apanya yang bisa di plan.

Financial planner akhirnya hanya sekedar teori yang hanya menarik didengungkan sosial media atau para motivator tanpa bisa diaplikasikan.

Misal soal 30 persen penghasilan yang seharusnya bisa ditabung atau diinvestasikan ketika menerima gaji. Wah, memangnya bisa? Itu pertanyaan teman-teman sekantor saya dulu.

Apalagi mereka yang hidup di kota besar dan sesekali memang tetap harus mengikuti "gaya hidup" kota besar, misal ya sesekali ikutan nongkrong atau nonton bioskop. Makin habislah gaji tersebut.

Memang kadang ada tambahan uang-uang bonus atau uang-uang fee proyek, tapi akhirnya uang-uang ini buat menutupi utang-utang di saat masa-masa tidak ada kelebihan uang.

Demikianlah kondisi nyata yang terjadi. Mereka yang lagi-lagi bukan warga miskin, bukan pula kaya raya melintir tetapi kelas menengah yang mencoba menyesuaikan kehidupan sehari-hari dan menyesuaikan sedikit gaya sebagai anak kantoran kota besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun