Mohon tunggu...
Enny Ratnawati A.
Enny Ratnawati A. Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk meninggalkan jejak kebaikan dan menghilangkan keresahan

Enny Ratnawati A. -- Suka menulis --- Tulisan lain juga ada di https://www.ennyratnawati.com/ --- Contact me : ennyra23@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelas Menengah, Hidup Segan Mati Tak Hendak

2 Maret 2024   16:04 Diperbarui: 3 Maret 2024   01:20 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi potret kelas menengah (Foto: kompas.id)

Nasib kelas menengah ya? Memang, inilah kelas yang bisa dikatakan: hidup segan, mati tak hendak

Ketika salah satu calon presiden (capres) pada pemilu lalu, dalam sebuah acara menyebut-nyebut soal kelas menengah, khususnya di sektor pendidikan, terus terang saya jadi ikutan bersemangat.

Menurut capres ini, kelas menengah adalah yang paling bingung kalau soal biaya pendidikan dan tentu saja harus mendapatkan perhatian lebih.

Biaya pendidikan buat anak orang kaya tentu sudah jelas. Mereka bahkan tak memerlukan sama sekali peran negara. Biaya pendidikan buat anak-anak mereka terjamin. Jangankah sekolah atau kuliah di Indonesia, kuliah mau ke belahan dunia manapun tentu saja dana tersedia saja.

Demikian pula dengan mereka yang benar-benar miskin atau masuk golongan berpenghasilan di bawah. Bantuan negara dan swasta bertebaran (asal mau dan sedikit mau repot).

Dari negara misalnya, buat yang kuliah, ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa bidik misi. Belum lagi beasiswa dari berbagai perusahaan/lembaga dalam bentuk CSR atau semacamnya.

Biaya pendidikan untuk anak-anak dari orang tua kelas menengah? Hmmm, agak membingungkan sih. Apalagi bila prestasinya tidak menonjol-menonjol amat. Masuk kategori miskin, tentu saja tidak.

Bahkan tentu akan malu banget kalau sampai ikut-ikutan mengurus surat tidak mampu hanya buat bayar biaya kuliah, misalnya.

Apalagi kalau suami-istri tampak bekerja dan sedikit takut juga, kalau -kalau mengurus surat tak mampu lalu beneran nggak mampu (miskin) di kemudian hari.

Kemudian dengan prestasi yang biasa-biasa saja, juga tak masuk dalam jaringan siswa/mahasiswa berprestasi, dan bingung mau ikut beasiswa siswa/mahasiswa berprestasi. Serba salah jadinya.

Makanya salut ketika beberapa waktu membaca kalau di salah satu kampus negeri, saat ini sudah ada semacam beasiswa buat anak-anak di kelas menengah ini.

Mereka bukan dari keluarga miskin. Mereka juga bukan dari golongan yang sangat-sangat pintar dan gampang dapat beasiswa. Ternyata yang masuk golongan ini cukup banyak.

Mereka adalah mahasiswa anak-anak kelas menengah, yang ketika mau bayar UKT, tiba-tiba orang tuanya kebingungan juga karena tak ada tabungan.

Dananya katanya dikumpulkan dari para alumni kampus tersebut yang sudah sukses untuk pemberian beasiswa kepada adik-adik tingkatnya yang masuk dalam kategori anak-anak yang orang tua mereka masuk dalam golongan kelas menengah.

Wah, semoga kedepannya, makin banyak yang berinisiatif seperti ini. Mereka yang peduli dengan pendidikan anak-anak dari orang tua kelas menengah.

KELAS MENENGAH TERHIMPIT

Guyon soal financial planner memang sudah lama terdengar di kalangan teman-teman sekantor saya. Dengan rata-rata gaji UMR Jakarta saat itu, ya keuangan apanya yang bisa di plan.

Financial planner akhirnya hanya sekedar teori yang hanya menarik didengungkan sosial media atau para motivator tanpa bisa diaplikasikan.

Misal soal 30 persen penghasilan yang seharusnya bisa ditabung atau diinvestasikan ketika menerima gaji. Wah, memangnya bisa? Itu pertanyaan teman-teman sekantor saya dulu.

Apalagi mereka yang hidup di kota besar dan sesekali memang tetap harus mengikuti "gaya hidup" kota besar, misal ya sesekali ikutan nongkrong atau nonton bioskop. Makin habislah gaji tersebut.

Memang kadang ada tambahan uang-uang bonus atau uang-uang fee proyek, tapi akhirnya uang-uang ini buat menutupi utang-utang di saat masa-masa tidak ada kelebihan uang.

Demikianlah kondisi nyata yang terjadi. Mereka yang lagi-lagi bukan warga miskin, bukan pula kaya raya melintir tetapi kelas menengah yang mencoba menyesuaikan kehidupan sehari-hari dan menyesuaikan sedikit gaya sebagai anak kantoran kota besar.

Tulisan di Harian Kompas, yang menyebutkan ada 126 juta kelas menengah di Indonesia dan diprediksi susah naik kelas menjadi warga negara kaya, cukup memprihatinkan. 

Padahal kelas menengah ini sebenarnya kelas yang paling bisa "diandalkan" untuk kemajuan sebuah bangsa. 

Kelas menengah sendiri bisa diartikan sebagai sebuah kelas dengan individu dan rumah tangga yang biasanya berada di antara kelas pekerja dan kelas atas dalam hierarki sosio-ekonomi. 

Dalam budaya Barat, orang-orang yang berada di kelas menengah cenderung memiliki proporsi gelar sarjana yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berada di kelas pekerja, memiliki lebih banyak pendapatan yang tersedia untuk dikonsumsi, dan mungkin memiliki properti. Mereka yang berada di kelas menengah seringkali bekerja sebagai profesional, manajer, dan pegawai negeri. (www-investopedia-com)

Artinya memang kelas menengah ini dari sisi pendidikan bisa dikatakan memang lebih baik dari masyarakat di bawahnya. Demikian juga dari sisi pendapatan.

Namun saya juga setuju dengan pernyataan admin Kompasiana: pada akhirnya kelompok kelas menengah ini jadi yang paling rentan saat pelambatan ekonomi terjadi: harga-harga naik, tetapi gaji tidak. Terlebih, kelompok kelas menengah ini tidak masuk data peserta program bantuan sosial pemerintah.

Memang demikianlah adanya. Tidak ada support pemerintah kepada kelas menengah ini, baik dalam kebijakan atau bantuan seperti kelas di bawahnya. 

Kemudian ketika harga-harga kebutuhan pokok, seperti saat ini, yang merangkak naik, tidak banyak juga yang sadar kalau kelas menengah sebenarnya cukup terimbas.

Kalau kelas dibawahnya ada bantuan sosial pemerintah bahkan pihak swasta, kelas menengah tentu saja harus gigit jari karena memang sekilas terlihat mampu secara ekonomi.

Tidak heran ketika jaman covid misalnya, ada seseorang yang menaruh berbagai sayuran di depan rumahnya dan membolehkan siapa saja yang memerlukan buat mengambilnya.

Tidak disangka banyak juga golongan yang selama ini dikira hidup berkecukupan saja akhirnya juga tanpa malu mengambil sayur-sayuran gratis tersebut.

Artinya apa? Kelas menengah juga seringkali terimbas berbagai peristiwa ekonomi di sebuah negara. Walau secara kasat mata tak pernah terlihat.

Pada akhirnya, buat siapa saja yang masih masuk ke dalam golongan kelas menengah, mungkin jangan pesismis dulu, seakan-akan tak bisa naik kelas ke taraf hidup yang lebih tinggi.

Berbagai upaya masih bisa dilakukan untuk memperbaiki kehidupan tanpa meminta bantuan ke orang lain.

Mengusahakan punya usaha sampingan hingga pindah ke daerah yang lebih kecil mungkin bisa jadi solusi.

Namun yang paling penting dari semuanya ya menurut saya tetap kemampuan buat banyak-banyak bersyukur aja atas karunia hidup.

Walau mungkin jauh dari kaya raya, kelas menengah setidaknya tidak harus meminta-minta atau tergantung sama orang lain dalam menjalani kehidupannya.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun