Lapisan paling atas adalah kain sarigading atau sasirangan (kain tenun khas Banjar). Tiga lapis kain  memiliki filosofi bahwa ada  tiga tingkatan dalam memahami agama yaitu tarekat, makrifat dan hakekat (tiga tingkatan sufisme).
Kemudian ayunan tersebut dihias dengan janur pohon nipah atau enau, dan pohon kelapa, buah pisang, kue cucur, kue cincin, ketupat, dan hiasan lainnya. Awalnya,Baayun Maulud, juga memiliki syarat upacara  piduduk.Â
Piduduk ini terdiri dari 3,5 liter beras, gula merah, dan garam untuk anak laki-laki, serta sedikit garam ditambah minyak goreng untuk anak perempuan. (data  https://diskominfomc.kalselprov.go.id/)
Namun dalam perkembangannya, piduduk ini ditiadakan dan diganti dengan sejumlah uang. Apalagi jumlah peserta yang ingin diayun dari tahun ke tahun semakin meningkat saja.Â
Di wilayah Banua Halat Tapin saja tahun ini tercatat ada 5000 orang yang mengikuti acara Baayun Maulud. Bisa dibayangkan repotnya panitia bila harus menyediakan begitu banyak piduduk  komplit.
Piduduk juga dianggap kemubaziran sehingga akhirnya diganti dengan sejumlah uang seharga dengan isi piduduk, yang mana uang akan  disumbangkan kepada para yang berhak menerimanya (fakir miskin).Â
Perubahan soal piduduk ini atas kesepatan bersama. Apalagi dengan melihat makin antusiasnya masyarakat yang mengikuti  Baayun Maulud. Potensi kerusakan isi piduduk bisa terjadi sehingga lebih praktis digantikan dnegan uang.
Ada beberapa biaya memang yang harus dibayar bila ingin mengikuti acara ini.
Dampak Ekonomi Baayun Maulud
Dampak secara ekonomi sangat terasa di acara ini. Salah satunya karena banyaknya peserta yang mengikuti acara ini dari berbagai wilayah di Kalimantan khususnya.Â
Tahun ini saja ada sekitar 5000 peserta yang mengikuti prosesi beayun maulud. Nah, tidak akan mungkin hanya akan datang 5000 peserta saja, karena biasanya satu peserta akan diantar ramai-ramai oleh keluarga besarnya. jadi bisa dikalikan berapa yang akan datang ke lokasi.Â