Dulu joki banyak dikenal untuk tes masuk perguruan tinggi negeri dengan persaingan yang sangat ketat. Hanya yang pintar dan beruntunglah yang bisa kuliah di kampus negeri. Jasa joki tumbuh subur saat itu.
Namun tampaknya, sekarang jasa joki itu semakin berkurang dengan adanya jalur mandiri untuk masuk PTN Â Siapapun yang tak lulus jalur tes, bisa ikut lagi di jalur mandiri walau mesti membayar dengan biaya yang tak sedikit. Namun ini ada aturan resminya.
Saat ini, joki berpindah ke jasa joki karya ilmiah. Bahkan sudah merambah ke dosen apalagi guru besar. Tentu kita semua patut prihatin dengan keadaan ini. Karena ini sudah bisa dikatakan kegagalan pembentukan karakter bangsa atau dengan kata lain miskin karakter.
Orang tak lagi memandang kejujuran dan etika sebagai jalan mencapai sesuatu tetapi menghalalkan segala cara untuk mewujudkan yang diinginkannya. Termasuk di bidang akademik.
Dikutip dari artikel di kompas.tv, Tim Investigasi Harian Kompas mengungkapkan adanya indikasi joki ilmiah bahkan buat guru besar dan biaya pembuatan jurnal ilmiah dan disertasi untuk pengajuan sebagai Guru Besar perguruan tinggi. Diketahui juga biaya yang harus dibayarkan sangat bervariasi. Untuk karya Ilmiah dan diterbitkan bahkan hanya Rp10 juta, itu sudah proses penulisan hingga diterbitkan di jurnal internasional.
Investigasi Kompas juga menyebutkan seorang joki bahkan bisa mendapat penghasilan bulanan sekitar Rp 60 juta dari jasanya ini. Tentu bisnis ini sangat menggiurkan.Â
Selain itu, investigasi juga menemukan sejumlah lembaga resmi yang berkecimpung di dalamnya bahkan menjanjikan penerbitan di jurnal internasional bereputasi.
Apa arti investigasi ini? Artinya memang soal perjokian ilmiah ini semakin transparan saja di dunia akademik. Yang menawarkan juga sangat terbuka bahkan seringkali mengiklankan jasanya baik melalui website maupun di media sosial seperti Facebook dan Instagram yang terbuka untuk publik.
Miskinnya karakter menjadi poin penting berbagai kejadian ini. Bisa jadi sang dosen dan calon guru besar tersebut sama sekali tak masuk dalam kategori miskin ilmu.Â
Mereka jelas-jelas orang-orang yang pintar di bidangnya masing-masing. Tetapi sayangnya miskin karakter dan etika. Salah satu ciri miskin karakter memang adalah tidak memiliki integritas.  Apakah ini juga menjadi ciri adanya  kegagalan pendidikan karakter di Indonesia? # Â