Mohon tunggu...
Enny Ratnawati A.
Enny Ratnawati A. Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk meninggalkan jejak kebaikan dan menghilangkan keresahan

Enny Ratnawati A. -- Suka menulis --- Tulisan lain juga ada di https://www.ennyratnawati.com/ --- Contact me : ennyra23@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Healing, Gaya Hidup Baru yang Salah Kaprah

8 Maret 2022   12:27 Diperbarui: 8 Maret 2022   12:47 1852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
healing harus liburan? (foto: istimewa)

Beberapa hari lalu melihat instagram story seorang teman. Katanya dia sedang healing dengan liburan bersama keluarga. Wah, apa yang terjadi ya dengan keluarganya sampai perlu healing segala?

Teman tadi tak sendiri menggunakan kata healing. Kalau kita rajin mengamati percakapan di Tiktok, Twitter sampai Instagram, istilah ini seringkali dipakai dalam percakapan. Sampai mau bilang, kok dikit-dikit healing ya. Kebanyakan sih healing yang banyak mereka lakukan dengan traveling alias berlibur.

Tidak heran, beberapa waktu lalu di sebuah grup komunitas blogger, healing sempat menjadi percakapan yang lumayan serius. Ada yang memang menganggap healing dengan berlibur. Tapi tak sedikit yang menyamakan healing dengan me time atau melakukan hobby apa saja.

Contoh simpelnya melakukan rebahan dan istirahat saja. Ada juga yang menyamakan healing dengan kulineran. Bahkan ada menyamakan healing dengan sekedar membaca buku dan mengedit video. Wah.

Yang sedih membaca status twitter yang sempat viral saat itu. Jadi yang membuat status adalah mahasiswi semester satu yang kaget karena kuliah ternyata banyak tugas-tugas dari dosen.

Dia merasa tak bisa lagi sering wa-an dengan bestie-nya, tidak sempat lagi nongkrong bersama gengnya sehingga merasa perlu healing dulu selama 6 bulan dengan cuti kuliah.

Tentu saja ide ini ditolak mentah-mentah sama orang tuanya. Kurang tahu sih bagaimana kelanjutan ceritanya. Cuma mau menggarisbawahi saja, kok ya lembek banget. Kok gara-gara tugas kuliah menumpuk, sampai perlu healing segala !

Sesulit apa sehingga perlu healing 

Kaka-kata self healing seperti yang saya sebutkan diatas banyak sekali di ucapkan kalangan muda akhir-akhir ini.  Mereka juga mengaku mengalami depresi seperti anak kuliahan yang diceritakan diatas.

Apa sebenarnya healing? Dalam arti sesungguhnya, healing adalah penyembuhan . Biasanya penyembuhan ini disebabkan karena luka batin atau peristiwa buruk di masa lalu. Dan healing dapat disembuhkan salah satunya dengan mengunjungi psikolog atau psikiater. 

Dalam bahasa gaul sekarang, healing berarti mengatasi kebosanan kehidupan dengan melakukan berbagai aktivitas. Tidak salah, banyak yang mengartikan healing dengan melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan. Sebut saja liburan atau travelling ke suatu tempat seperti kisah diatas.

Sosial media, diakui atau tidak, membelokkan opini soal healing yang sebenarnya dan membuat anak-anak muda sekarang sedikit-sedikit merasa perlu healing. Padahal mungkin kondisinya masih biasa-biasa saja.

Healing seakan menjadi gaya hidup baru yang banyak dilakukan generasi muda. Apa efeknya? Mereka menjadi generasi yang lembek. Karena sedikit-sedikit merasa depresi dan perlu healing.

Generasi Z paling banyak perlu healing?   

Sebuah penelitian menyebutkan, salah satu generasi yang paling banyak merasa perlu healing adalah generasi Z. Generasi ini dianggap rentan masalah mental seperti depresi tadi. Apalagi beban pekerjaan mungkin sangat banyak. Ini membuat mereka rawan stress dan depresi. Ditambah kondisi pandemi yang berkepanjangan.

Dirilis dari Washington Post, awal Desember 2021, Generasi Z dilaporkan banyak stres terkait khususnya masa pandemi daripada kelompok usia lainnya, dengan alasan pendidikan, karier, dan hubungan.

Jajak pendapat, yang dilakukan oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research, dengan dana dari MTV, mencakup 3.764 orang berusia 13-56 dari 1 hingga 19 September 2021. 

Sekitar 46% dalam kelompok usia Gen Z mengatakan COVID-19 telah mempersulit pencapaian tujuan pendidikan dan karir mereka, dibandingkan dengan 36% Milenial dan 31% Gen X. Semua kelompok umur melaporkan kesulitan dalam menjaga kesehatan mental, termasuk 49% Gen Z, 47% Milenial, dan 48% Gen X.

American Psychological Association, juga telah merilis data dan  menemukan bahwa orang dewasa Gen Z kemungkinan besar mengalami kesulitan membuat keputusan besar dalam hidup karena ketidakpastian seputar pandemi, dan mereka lebih cenderung mengatakan pandemi telah memengaruhi kesehatan mental mereka.

Kesehatan mental tampaknya memang isu di semua negara di dunia. Apalagi terdampak pandemi. Apakah dengan demikian , healing memang diperlukan?

Merujuk pengertian di atas, healing sudah mengarah ke depresi yang sangat berat. Sedangkan yang ringan dan biasa-biasa saja, tampaknya tak perlu healing. Cukup mematikan media sosial sejenak, mungkin ini healing yang cukup mejarab. Apalagi media sosial telah terlalu banyak merebut perhatian kita.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun