Pada pagi ini kami awali dengan pelajaran Sejarah, di mana Indonesia masih berada di bawah jajahan dan belum merdeka. Masyarakat yang dipaksa kerja rodi serta perempuan-perempuan yang dijadikan budak pemuas hawa nafsu para penjajah keji itu. Jika dipikir-pikir keadaan Indonesia dahulu tidak jauh berbeda dengan keadaanku saat ini, walaupun dengan konteks yang berbeda. Bukankah di sini segala kekurangan? Sekolah yang sudah tidak layak, serta akses jalan yang sangat jelek, jembatan yang menjadi penghubung antara kecamatanku dengan kecamatan lainnya juga hampir rusak.
Sangat jauh berbeda dengan peradaban yang ada di Jakarta serta kota-kota yang ada di Jawa. Di sana semua penuh dengan kemewahan serta gaya hidup yang glamor akan tetapi jauh berbanding terbalik dengan yang ada di desaku, semuanya penuh dengan kekurangan. Bahkan handphone saja hanya beberapa penduduk yang memiliki, untuk sekedar menonton televisi saja kami harus numpang dulu di rumah Pak Kades.
Pembangunan terlalu berfokus di Jawa, seakan kami-kami ini yang berada di pelosok negeri menjadi terlupakan serta tak terjamah oleh tangan-tangan pemerintah. Rekontruksi pembangunan di Jawa sangatlah berkembang pesat, berbanding terbalik dengan pembangunan di Sumatera dan daerah yang lainnya. Perkembangan belum merata. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia masih menjadi negara berkembang.
Tubuh ini seakan panas, segera kuambil nafas dalam dan membuangnya. Kelas sudah berakhir tiga menit yang lalu, yaitu kelas terakhir sebelum kami harus menyiapkan diri untuk Ujian Nasional. Aku beranjak dari kursi, disusul teman-temanku dan pergi pulang kembali ke rumah masing-masing.
Kulihat di sudut rumah Mamak tengah kelelahan sehabis dari berkebun. Kubakan segelas air putih untuknya, ia meminumnya lalu menyenderkan tubuh ke dinding-dinding rumah.
Entah ada niat apa tiba-tiba saja aku ingin membicarakan kelanjutan sekolahku sekarang, kujelaskan kepada Mamak bahwa aku ingin kuliah di kota, antusiasku ingin mengubah kampung ini menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, aku ingin menjadi penerus bangsa.
Namun, Mamak seakan menganggap remeh cita-citaku, ia berkeyakinan bahwa sekolah itu tidak penting dan ujung-ujungnya juga akan ada di sawah dan dapur. Gausah sok pinter, begitu katanya. Sungguh hati ini terasa sakit, tapi aku sungguh ingin melanjutkan sekolah, biarlah tak punya uang. Aku akan berusaha sendiri demi mencari uang untuk biaya kuliahku. Dan di sinilah perjalananku dimulai.