Mohon tunggu...
Ennike Rahayu Lestari
Ennike Rahayu Lestari Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Administrasi Publik

Lakukan, selagi itu baik dan bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Aira

26 Februari 2021   00:17 Diperbarui: 26 Februari 2021   00:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Allahu Akbar ... Allahu Akbar

Suara panggilan adzan bagai sebuah magnet penggerak untuk bergegas bangkit dari tidur pulas, sejenak demi bersujud pada Sang Ilahi. Kutegakkan badan demi mencapai sedikit puncak kesadaran, setelah kesadaran itu telah penuh kudapat lantas turun bergegas mengambil wudhu di sumur belakang rumah. Tampak hutan-hutan masih gelap, penerangan yang ada hanya berasal dari obor yang berada di pinggir-pinggir rumah warga.

Suurr....

Dinginnya air membakar kantuk, penuh syukur akan nikmat dari-Nya aku masih bisa bernafas dan berdoa kepada-Nya hari ini. Masih bisa merasakan dinginnya air yang membahasahi kulit serta pori-poriku, tiba-tiba aku teringat akan sebuah ayat di dalam Al-Quran. "Lalu nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan."

Pukul 07.00 WIB seperti biasa aktivitasku menuju sekolah selalu bersama dengan teman-teman, berjalan sambil bercanda ria. Jika kalian melihat sekolahku, maka akan sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang lain. Yang biasanya bertembok semen dan beratapkan seng. Dinding sekolah kami berasal dari anyaman bambu dan atap yang terbuat dari daun-daun. Sekolahku berada di pelosok Sumatera, rute untuk mencapainya pun cukup susah karena akses jalan yang sangat belum memadai. Jika langit sedang dirundung pilu maka jalanan akan sangat becek, kadang kala kami bahkan tidak memakai sepatu karena takut merusak. Baju seragam kami juga menjadi cepat kotor.

Sering kali aku dan teman-temanku suka berkhayal bersekolah di tempat yang bagus, bersih, serta indah, dengan rak-rak buku yang menarik mata. Kelas yang ber-AC, oh tidak! Kipas angin juga cukup. Gerbang sekolah dari besi, tanaman-tanaman yang indah, dan jangan lupa dengan kantin yang setiap saat mengepulkan aroma-aroma masakan yang menggugah selera. Tiba-tiba mataku berbinar.

Sebagian besar buku dan peralatan ajar-mengajar yang berada di sekolah berasal dari sumbangan dari beberapa warga setempat dan beberapa mahasiswa. Jarak tempuh ke desa kami lumayan jauh serta jalanan yang tidak mendukung sama sekali menjadikan sebuah halangan bagi masyarakat lain untuk berkunjung, mungkinkah itu juga menjadi penghalang pemerintah untuk memperbaiki desa kami? Huuuh, sungguh iri rasanya melihat anak-anak kota itu.

"Aira, nanti kalau abis lulus SMA kau mau langsung nikah?" tanya Maimunah kepadaku.

"Apa pula kau nih Mun, aku mau kuliah dulu pokoknya!" jawabku tegas.

"Apa pula pentingnya pendidikan tuh."

"Pentinglah, Mun. Dengan pendidikan kita bisa ke mana aja, ga di sini mulu, pelosok."

Selain sekolahku yang keterbelakangan, pemikiran masyarakat di sini juga seperti itu. Miris memang. Jika ditanya mengenai cita-cita, maka kujawab dengan lantangnya ingin memajukan kampungku. Di sini pendidikan bukanlah menjadi suatu hal yang terpenting, bisa dibilang mungkin pendidikan hanya untuk mereka-mereka saja yang memiliki uang, Pak Kades contohnya mungkin.

Sesampainya kami di sekolah kulihat bangku-bangku yang berjejer, tidak seberapa. Bahkan kelasnya saja hanya ada dua. Kantor guru dan kelas sudah itu saja. Karena terlalu bersemangat untuk memulai pelajaran hari ini aku sedikit berlari menuju bangkuku.

Tiba ... tiba....

BUGGGG

TRAKKK

Bangku yang kududuki patah, teman-teman bahkan sampai menertawaiku yang jatuh dari kursi. Aku mengaduh sedikit menepuk bagian tubuhku yang kesakitan.

"Aira, pagi-pagi kau sudah lawak saja," kata Asep sambil menertawaiku.

Aku mengeram kesal lalu berkata,"Palamu Asep, aku bukan sedang melawak. Aku terlalu semangat untuk menaklukan dunia ini."

"Halaaah. Cewek itu ujung-ujungnya juga di dapur, sumur, kasur," sahutnya kembali.

"Ujung-ujungnya kecebur ... hahahaha."

Kulihat Bu Guru datang menghampiriku, menanyai keadaanku dan syukurlah tidak terluka sedikitpun. Wajahku sedikit memerah menahan malu karena bangku yang kududuki sudah usang dan aku tergesa untuk duduk. Bu Guru pun menyuruh semua murid untuk diam segera memulai pelajaran, dalam hati aku berucap syukur.

Pada pagi ini kami awali dengan pelajaran Sejarah, di mana Indonesia masih berada di bawah jajahan dan belum merdeka. Masyarakat yang dipaksa kerja rodi serta perempuan-perempuan yang dijadikan budak pemuas hawa nafsu para penjajah keji itu. Jika dipikir-pikir keadaan Indonesia dahulu tidak jauh berbeda dengan keadaanku saat ini, walaupun dengan konteks yang berbeda. Bukankah di sini segala kekurangan? Sekolah yang sudah tidak layak, serta akses jalan yang sangat jelek, jembatan yang menjadi penghubung antara kecamatanku dengan kecamatan lainnya juga hampir rusak.

Sangat jauh berbeda dengan peradaban yang ada di Jakarta serta kota-kota yang ada di Jawa. Di sana semua penuh dengan kemewahan serta gaya hidup yang glamor akan tetapi jauh berbanding terbalik dengan yang ada di desaku, semuanya penuh dengan kekurangan. Bahkan handphone saja hanya beberapa penduduk yang memiliki, untuk sekedar menonton televisi saja kami harus numpang dulu di rumah Pak Kades.

Pembangunan terlalu berfokus di Jawa, seakan kami-kami ini yang berada di pelosok negeri menjadi terlupakan serta tak terjamah oleh tangan-tangan pemerintah. Rekontruksi pembangunan di Jawa sangatlah berkembang pesat, berbanding terbalik dengan pembangunan di Sumatera dan daerah yang lainnya. Perkembangan belum merata. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia masih menjadi negara berkembang.

Tubuh ini seakan panas, segera kuambil nafas dalam dan membuangnya. Kelas sudah berakhir tiga menit yang lalu, yaitu kelas terakhir sebelum kami harus menyiapkan diri untuk Ujian Nasional. Aku beranjak dari kursi, disusul teman-temanku dan pergi pulang kembali ke rumah masing-masing.

Kulihat di sudut rumah Mamak tengah kelelahan sehabis dari berkebun. Kubakan segelas air putih untuknya, ia meminumnya lalu menyenderkan tubuh ke dinding-dinding rumah.

Entah ada niat apa tiba-tiba saja aku ingin membicarakan kelanjutan sekolahku sekarang, kujelaskan kepada Mamak bahwa aku ingin kuliah di kota, antusiasku ingin mengubah kampung ini menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, aku ingin menjadi penerus bangsa.

Namun, Mamak seakan menganggap remeh cita-citaku, ia berkeyakinan bahwa sekolah itu tidak penting dan ujung-ujungnya juga akan ada di sawah dan dapur. Gausah sok pinter, begitu katanya. Sungguh hati ini terasa sakit, tapi aku sungguh ingin melanjutkan sekolah, biarlah tak punya uang. Aku akan berusaha sendiri demi mencari uang untuk biaya kuliahku. Dan di sinilah perjalananku dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun