Pada usia yang sama dengan saya, ceritanya sangat berbeda dengan cerita masa kecil saya. Membuat saya merasa kadang berpikir apakah nenek melebih-lebihkan ceritanya? Seperti Calpurnia mengatakan ada orang yang makan taplak meja!
Nenek saya tidak sempat lulus dari Sekolah Rakyat. Pada saat dia berada di kelas dua, dengan terpaksa dia harus meninggalkan sekolah. Mengambil tanggungjawab memenuhi kebutuhan keluarga karena ibunya baru saja dipanggil Tuhan.
Dia tidak mengisi masa kecil dengan belajar di sekolah dan bermain seperti saya. Sekolahnya ialah pengalaman sehari-harinya. Dari situlah dia belajar.
Pada usia seumuran saya, saat saya masih bermain, dia sudah memikirkan tentang makan apa esok hari dan bekerja keras untuk memenuhi itu.
Sewaktu saya kecil, ceritanya lebih banyak tentang cerita masa kecilnya. Berbeda dengan kedua orangtua saya yang lebih banyak marturi-turian (baca: mendongeng).
Dia mengolah ladang mereka dan bekerja ke ladang atau sawah orang untuk ikut berkontribusi pada keluarganya dan menyekolahkan adik-adiknya.
Dalam kondisinya yang buta huruf, dia bisa melakukan jual beli dengan melakukan perhitungan matematika di kepalanya dengan bantuan jari tangannya. Ingatannya begitu tajam. Saya tidak habis pikir tentang ini.
Saya kelas dua SD pada waktu itu masih sangat-sangattt bergantung pada kedua orang tua saya. Bahkan masih merengek!
Itu seperti dogeng bagi saya pada saat itu.
Tapi sekarang ini aku jadi semakin percaya akan hidup masa lalu nenek. Hanya karena saya tidak berada disana dan menyaksikannya secara langsung, bukan berarti itu benar-benar terjadi bukan?
Ini seperti bacaan dalam bacaan untuk Sekolah Dasar yang menceritakan seorang anak peloper koran sudah bergerak dari rumahnya yang berada di ibukota pada pukul 05.00 WIB.