Mohon tunggu...
Ernip
Ernip Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"RideSharing", Cara Uber Ajak Masyarakat Mengurangi Kemacetan dan Polusi Udara di Jakarta

11 November 2017   18:01 Diperbarui: 11 November 2017   18:28 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masker, gadget,buku bacaan, botol air minum. Apa yang akan terjadi jika benda-benda tersebut tidak ada di tangan saat kita sedang berada di kendaraan bermotor? Saya kira tidak akan masalah. Namun, berbeda saat berada di jalanan Jakarta, benda-benda ini setidaknya ada dalam tas sebelum keluar dari rumah. Jika tidak, yang ada tumbuh rasa bosan dan panik yang bermuara pada stress. Apa soal, Jakarta macet hampir setiap hari.

Kemacetannya luarr biasa! Kendaraan bermotor pada tubuh jalan padat merayap, terutama di jam sibuk, mengalahkan seluruh kota-kota besar lainnya. Tidak jarang waktu banyak terkuras di jalanan. Jarak tempuh belasan menit bisa-bisa molor menjadi puluhan menit hingga berjam-jam karena macet.

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tiap tahun menjadi penyebab kemacetan Jakarta. Statistik transportasi DKI Jakarta 2015, menurut Dilantas Polda Metro Jaya pada tahun 2010-2014 saja, persentase pertumbuhan per tahun sepeda motor 10,54%, mobil penumpang 8,75%, mobil beban 4,46%, mobil bis 2,13%. Sepeda motor mendomonasi 74,66%, mobil penumpang 18,64%, mobil beban 3,84%, mobil bis 2,07% dan kendaraan khusus 0,79%.

Jika tidak macet bisa-bisa pertanyaan keheranan muncul, "Tumben-tumbenan gak macet, hari apa ini?"

Kita Perlu (Lebih) Bergerak Sebelum Sekarat

"Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet." Pengingat meredam diri melihat jalanan mulai riuh oleh kendaraan bermotor di depan kantor. Respon rekan kerja mendengar keluhan saya akan kemacetan.

"Tadi malam jalan Deplu macet sekali. Angkot yang saya tumpangi mencari rute berbeda melewati Tanah Kusir. Saya  tiba pukul sembilanan. Ya ampun..., tiga jam dari kantor ke kos!" Keluh saya membandingkan jarak tempuh macet biasanya sejam dari kantor ke rumah saat pulang kerja. Pada pagi hari jika tidak macet bisa ditempuh hanya setengah jam.

Kemarin-kemarinnya juga saya mengeluhkan para pengendara karena melawan arus jalan yang sudah dijadwalkan satu arah hingga pukul sembilan pagi di jalan Deplu menuju Lebak Bulus. Macet menjadi-jadi karena segelintir orang tidak patuh pada aturan lalu lintas. Sejak mendengar pernyataan tersebut, suka tidak suka kemacetan harus dihadapi.

Sampai beberapa kali karena kemacetan kebangetan, saya sengaja turun dari angkot menyelesaikan perjalanan. Turun di pertigaan Organon melewati Jalan Veteran Raya atau di jalan Haji Muhi melewati perumahan Vila Anggrek. Lumayanlah gerak otot-otot kaki berjalan lima belas hingga tiga puluh menit.

Sayangnya, masalah belum selesai sampai disitu. Masalah baru muncul, udara terpolusi siap-siap tersedot masuk ke dalam paru-paru. Aih! Rasa sesak di dada pun terasa ketika langkah-langkah kaki semakin jauh menapaki sisi jalan.

Memang saya tidak tahu sudah berapa konsentrasi emisi NOx, SOx, dan partikulat-partikulat dalam tubuh yang masuk ke dalam tubuh. Hal yang pasti udara terpolusi sangat berbahaya bagi kesehatan. Dia layak mendapat label pembunuh pelan-pelan tak kasat mata. Udara terpolusi terhirup mengalir dalam tubuh, masuk ke paru-paru, jantung, hati dan organ tubuh lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun