Percakapan #1
"Sibuk amat di akhir minggu gini?"
"Yap, aku lagi buat proposal kepada atasan. Program ke depan kantor kami itu harus di cat warna hijau bagian luar-dalam dan semua perlengkapan harus bernuansa hijau."
"Biar apa?"
"Karena aku ingin semua staf pro-ramah lingkungan."
Percakapan #2
"Lama kali kau belanja, beli apa saja?"
"Biasa, kebutuhan pokok produk ramah lingkungan."
"Produk ramah lingkungan %#@*&%?"
"Yoii... mulai saat ini sampai selama-lamanya aku akan lebih memilih produk ramah lingkungan."
"Yakin itu produk ramah lingkungan?"
"Iya dong, lihat di kemasannya. Disini tertulis "produk hijau", yang ini, "bisa didaur ulang.", Kalau yang ini ditulis, "hemat energi." Jelas?"
Percakapan #3
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan tahun ini yang bisa berdampak pada sekitar?"
"Hmn... Kalau aku pengen mulai menggunakan produk ramah lingkungan tapi gimana ya caranya memastikan produk di pasaran itu ramah lingkungan atau tidak?"

Ada niat saja sudah merupakan langkah positif
Ketika saya sedang menyuci piring, mata saya tertuju pada kalimat dalam kemasan botol plastik berisi cairan penyuci piring bertuliskan, "aman dan nyaman di tangan." Rasa penasaran pun muncul ingin tahu apa kalimat tersebut benar atau bohong-bohongan.
Tidak jarang pernyataan 'promosi' dari sebuah produk disertakan pada kemasan. Salah satu istilah paling menjual ialah "ramah lingkungan". Pengenalan dan kesadaran masyarakat mengenai hal-hal "ramah lingkungan" memang saat ini semakin meningkat. Jadilah perusahaan berlomba-lomba menciptakan produk ramah lingkungan atau bahkan menciptakan image bahwa produk mereka ramah lingkungan.
Berbagai cara dan upaya dilakukan agar produk laris manis. Ada yang membuat kemasan dimana konsumen berpikir produk tersebut ramah lingkungan. Melalui kemasan dengan pernyataan nyentrik dalam kemasan, seperti "ramah lingkungan", "tidak berbahaya terhadap lingkungan". Beserta gambar-gambar eyecathing agar pikiran kita menjadi "yakin". Padahal untuk menyertakannya harus ada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Namanya juga produsen ingin menarik perhatian konsumen supaya lebih memilih produknya.
Mengenai produk ramah lingkungan, sebetulnya sudah topik ini sudah diperbincangkan sejak dulu. Negara-negara bagian Eropa mengawali produk ramah lingkungan. Negara tertua misalnya Jerman. Mereka membentuk organisasi resmi yang memastikan sebuah produk dikatakan ramah lingkungan sudah sejak tahun 1970-an.
Bicara tentang ramah lingkungan kelihatannya agak rumit. Berbagai aspek bisa digunakan sebagai acuan disebut ramah lingkungan. Tapi saya hendak menyampaikan berdasarkan satu sudut pandang saja. Satu hal yang pasti setiap kegiatan pasti menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, entah pada manusia dan lingkungan itu sendiri. Karenanya agak susah mengklaim suatu material/produk/bahan dengan sebutan "ramah lingkungan".
Buanyak sekali dampak yang dihasilkan untuk menghasilkan suatu produk. Sebuah produk terbentuk melalui proses panjang. Mulai dari bahan baku, pengangkutan bahan baku ke industri, pengolahan di industri hingga produk di tangan konsumen. Bahkan saat masa pakai produk habis tetap akan menjadi tanggungan lingkungan-limbah.
Kita lihat, batu kapur dan kawan-kawannya diubah menjadi semen, tanah liat dan kawan-kawannya diubah menjadi keramik lantai, keramik gelas, keramik perlengkapan toilet, dan produk-produk lain yang kita kerap perlukan.
Dengan seluruh dampak yang dihasilkan terhadap lingkungan seperti emisi udara, limbah, pengurangan energi, dll, masih mungkinkah disebut ramah lingkungan?
Tapi semua bahan itu kita perlukan melanjutkan hidup. Semua aktivitas tersebut pada dasarnya bertujuan baik. Apa jadinya jika semua pertambangan dan industri berhenti berproses.
Ranah ramah lingkungan berarti menyelaraskan aktivitas manusia dengan lingkungan tanpa mengurangi kualitas hidup. Misalkan nih, karena saya ingin hemat energi lalu saya membaca dalam keadaan gelap. Hasilnya mata saya akan rabun. Solusinya supaya tetap ramah lingkungan saya harus mencari lampu hemat energi yang sama terangnya dengan lampu tidak hemat energi. Kualitasnya dari segi pencahayaan tetap baik untuk diri saya dan energi yang dipakai lebih hemat. Udah itu bayar listriknya jadi murah, deh.
Atau, agar rumah saya kelihatan artistik, saya lebih memilih cat yang bahan VOC-nya  (Volatile Organic Compounds) memenuhi syarat yang ditetapkan. Artinya, tidak membahayakan pada saya sebagai penghuni rumah serta limbah pada saat proses produksi ditangani oleh industri dengan baik.  Karena jika saya menggunakan cat yang VOC-nya melebihi batas maksimum akan berbahaya pada terutama pernafasan saya. Juga pada orang lain yang tinggal di wilayah industri, jika limbah cairnya mencemari sungai.
Wah... Mau dong tapi gimana cara saya mengenaliproduk-produk ramah lingkungan?
Kemasan botol cairan pencuci piring yang kami gunakan ada label produk ramah lingkungan Green Label Singapura. Lupakan soal cairan pembersih piring itu ada di kos. Semuanya karena diskon-dasar wanita ya!
Green Label Singapura merupakan label yang diberikan pada produk-produk ramah lingkungan. Jika kita telisik label ini masuk dalam label Tipe I. Ada tiga Tipe label ramah lingkungan. Tergantung mengacu pada standar yang mana. Tipe I berdasarkan pada ISO 14024 dengan pendekatan prinsip Life Cycle Assesment.
Prinsip LCA menilai suatu produk dari proses pertambangan, bahan baku, produksi, produk hingga masa pakai habis produk selesai. Minimal dalam setiap tahapan proses diawasi alias harus benar-benar mengikuti peraturan yang berlaku. Semuanya dinilai oleh pihak ketiga.
Tipe I bisa dikatakan lebih ketat dan lebih sulit dicapai dibandingkan dengan peraturan yang berlaku. Namanya juga produk ramah lingkungan, bukan. Sedapat mungkin meminimalkan dampak negatif yang akan terjadi pada manusia sehingga lingkungan sehat perlu diciptakan.
Produk ramah lingkungan Tipe II mengacu pada ISO 14021. Tipe II merupakan klaim pribadi (self declare) terhadap salah satu bagian dari produk. Misalnya, saya sebagai produsen mengklaim produk saya tanpa memperhatikan aspek lain, seperti "CFC-free", "biodegradable". Untuk mendapatkan klaim ini pun harus benar-benar diperiksa. Â
Tapi memang bisa dikatakan sedikit agak repot untuk menemukannya di awal-awal. Kita harus bisa membedakan mana label tipe I dan tipe II terlebih dahulu. Keduanya sama-sama memperhatikan lingkungan. Perbedaannya terletak pada kriteria yang dipenuhi.
Tipe III mengacu pada ISO 14025 memberikan persentase aspek dalam produk. Misalnya, produk A memiliki kandungan Hg 0,001%, ..., Â Pb 0,0005%. (Bedakan dengan produk yang menyertakan jejak karbon).
Jika dibandingkan dari ketiganya, Tipe I dan III lebih cenderung menjadi pilihan aman karena Tipe II sering kali bisa membingungkan konsumen.
Pilihan ada di tangan konsumen
Bukan berarti produk tanpa label tidak memperhatikan tentang lingkungan, ya. Hanya, label ramah lingkungan yang valid dan terpercaya yang terdapat pada produk bisa menjadi acuan bagi masyarakat. Label menunjukkan produk dipasaran benar-benar sudah terjamin. Â Adanya label memudahkan masyarat mengenali produk ramah lingkungan. Pilihan ada di tangan konsumen. Mau pilih produk ramah lingkungan atau tidak.
Kemudian, semua kembali kepada pihak industri dan konsumen. Produk tidak harus pakai label ramah lingkungan. Â Lebih daripada itu kita senantiasa memberi perhatian lebih terhadap lingkungan.Â
Memilih produk ramah lingkungan pada awalnya tampaknya ribet. Kita harus perhatikan label terlebih dahulu saat akan membeli produk. Bahkan, produk ramah lingkungan yang kita pilih bisa jadi dikenakan harga  lebih mahal. Tapi ketika kita menggunakan produk ramah lingkungan (pakai label atau tidak) saat itu pula kita sedang berkontribusi bagi lingkungan dan generasi mendatang, bukan?
#please jangan golput :)
Sumber gambar 1, gambar 2, gambar 3,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI