Candaannya membuat saya sadar saya salah total. Sejak kapan kiri jadi kanan? Saya ucapkan “Makasih, Pakk.” Lalu kabur menuju lift setelah belok kiri. Meninggalkan beliau dan seorang temannya dengan wajah tersenyum. Entah mereka menahan tawa. :D
Iya iyalah secara foto dalam kartu identitas saya kabur. Coba punya jurus bening. Saya akan langsung tidak kelihatan. Maluuu.
Siapa yang tidak gugup menginjak wilayah Gedung Kompas Gramedia. Rumah terbitnya koran kompas. Koran nasional yang dulu sering dibaca sama teman-teman kemudian saya terpengaruh memelototinnya. Hari Minggu ada teka teki silang membuat kami berkumpul bersama mencari jawaban. Hari Selasa ada opini mahasiswa. Hari Rabu ada tentang teknologi. Sudah berubahkah?
Apalagi saya, bukan penulis juga bukan salah seorang staf. Hanya seorang yang sering nguntit artikel-artikel di flatform Kompasiana. Lalu saat mencoba menulis kelarnya baru berhari-hari hingga berminggu-minggu. Malah ada calon artikel yang sudah dikerjakan sejak beberapa bulan lalu gak selesai juga hingga menit ini. Artikel ini contohnya. Ngoplahnya minggu kemarin baru selesai sekarang. Apa itu?!
Tiba di lantai enam bertemu pak Thamrin Sonata dekat pintu Kantor Kompasiana. Penulis yang saya ikuti dan kenal dari tulisan-tulisannya di kompasiana.
Saya masuk ke dalam ruangan mengikuti beliau dan diperkenalkan ke peserta yang tampaknya sudah lama hadir disana.
Mak Jang! Hampir semua peserta di ruangan itu memiliki tulisan dalam buku berjudul Intoleransi di tangan saya. Ada Bapak Kang Nasir, Iskandar Zulkarnain, Rooy John Salamony, Teh Sugiyo, Isson Khairul, Ikhwanul Halim, Mba Erni Wardhani, Tamita Wibisono, dan Ade Supartini.
Sedikit tentang pertemuan sore itu, para penulis berbagi tentang pengalaman mengalami masa-masa toleransi dan melakukan toleransi pada orang lain, yang berbeda keyakinan, suku, kaum, dan bahasa.
Enak aja rasanya mendengar penuturan mereka tentang pengalaman bertoleransi. Apalagi akhir-akhir ini bangsa kita, terutama Jakarta digoncang oleh kejadian yang membuat kita gentar karena perbedaan pemahaman disangkut-pautkan dengan agama. Pertemuan Sabtu itu mengingatkan saya bahwa masih ada (banyak) yang peduli tentang pentingnya bertoleransi dalam semua hal.
Kepedulian itu mereka tuangkan dalam bentuk tulisan toleransi. Tulisan yang menghayo-hayokan masyarakat supaya kita hidup bertoleransi. Dari cerita mereka hidup bertoleransi sudah ada sejak duluuu.