Sepenggal kisah pernah kudengar,
sebagai respon atas sebuah tata cara baru,
tata cara baru yang juga dianggap strategi jitu,
yang disebarkan melalui koran dan tivi yang tersiar.
Â
memang, untuk sebuah ajaran moral,
tidak ada anggaran dari negara,
dari personal pun setelah bilang iya, mendadak batal,
membuat kita terbelalak sambil mengaga.
Â
dia uangkapkan sambil bernafas dengan berat,
"untuk sebuah upaya yang sangatlah banyak manfaat,
tiada dukungan dan tiada nasehat,
untuk upaya yang menghancurkan moral dan martabat,
dana membanjir sampai tak dapat ditambat"
Â
Hm, sekilas iya juga kata mereka,
namun, kulihat lagi dan kutelisik realitanya,
dan, kuterhenyak, ada keanehan dan membuatku ternganga,
kuyakinkan sambil mebelalakkan mata,
kucubit tangan, mencoba menguji apakah ini realita,
namun, tetap saja, sangkalan tidak menyebabkan realita tiada.
Â
Saya melihat dengan sesadar-sadarnya,
apa yang saya lihat, saya dengar dan saya kecap,
bahwa agama yang saat ini dipandang indah dimata,
sudah jelas identitasnya karena tanda di sebuah cap.
Â
Untuk yang sangat banyak manfaatnya,
tiada dukungan dan tiada nasehat,
untuk yang menghancurkan moral dan martabat,
ide dan uang, membanjir tak disangka-sangka.
Â
Agama, moral dan martabat dari mana yang mereka usung,
karena di daerah mereka, ada sastra dan agama terkurung,
didalam kebisuan fitnah ateis dan G30S mereka dipasung.
Â
Setidaknya sudah demikian lumrah terjadi,
kami tahu semua orang diam membungkam hati,
entah karena apa, sampai ini terus terjadi,
namun sebuah isu menakutkan adalah risikonya, mati!
Â
Dikatakan pakaian kami tidak sesuai adat,
karena seuntai rambut dan kaki terbuka,
ada yang terlupa diri karena terpesona,
bahkan ada yang membelalak mata tuk melihat.
Â
Kami bertanya kepada hati kami,
mencoba menjawab dengan kesadaran di hati,
apa menurut kata mereka, moral dan martabat kami,
tidak satupun, bahkan walaupun dirinci.
Â
Buah jeruk, alaminya memang demikian,
harumnya tersebar wangi ke penjuru dunia,
dengan tujuan mulia tanpa kebusukan atas niatan,
hanya karena rasa dan menfaat jeruk amatlah nyata.
Â
Rambut tergerai, bentuknya itulah adanya,
menghindarkan akibat panas untuk kepala,
tiada kebusukan, hanya manfaatnya saja.
Â
Dari masa moyang yang demikian bersahaja,
semua dipandang berdasar manfaat saja,
yang dibuka tidak sampai menyisakan mata saja.
Â
Jika boleh kami katakan dengan terang,
kehidupan dengan badan dalam bungkus dikekang,
tiada alasan lain selain pikiran yang terus meradang,
berbekal kekeluasaan yang penuh penghalang,
seperti sapi yang diikat rantai dan terpelihara dalam kandang.
Â
Mungkin kita pernah melihat seekor anjing atau kucing,
dari mereka kita belajar dengan mata terpicing,
mengamati kerakusan dan bagaimana penjarahan pencurian terpancing,
karena memang, otak mereka tiada manusiawi bahkan sebiji kancing.
Â
Moral, martabat dan adat kami,
bukan karena ketakutan setengah mati,
namun atas kelemahan diri yang tak pernah dipelajari,
berdasarkan kemauan untuk mengeri kekuatan diri.
Â
Tidak usah kamu perjuangkan moral,
mengatas namakan kami berteriak di jalan beraspal.
Â
Bukan kami yang engkau perjuangkan,
bukan bumi ini yang engkau langgengkan,
bukan moral dan adat kami yang engkau teriakkan.
Â
Kami, terletak di timur,
jangan pandang kami dari eropa menghadap ke timur,
pandanglah kami, dari tanah kami, yang kami panggil timur,
sebab adanya kata "tengah", jelaslah tidak sama dengan timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H