Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ingin Budayakan Literasi, Semangat Saja Tidak Cukup

3 November 2020   15:03 Diperbarui: 3 November 2020   15:28 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana gerakan literasi di sekolah ibu?"

"Sudah berapa buku yang diterbitkan?"

"Apakah semua guru mendukungnya?"

Yaa, itulah sederet pertanyaan yang sering saya dengar bila bertemu dengan sesama pengajar dari sekolah lain yang kebetulan sama-sama menjadi penggerak literasi.

Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Gerakam Literasi Sekolah (GLS) melalui Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015, program budaya membaca ini disambut baik oleh lembaga pendidikan dari semua jenjang. Bahkan banyak bermunculan tim-tim penggerak literasi di luar sekolah. Baik itu memberi pelatihan menulis, aneka perlombaan menulis atau penerbitan buku.

Memang tujuan pemerintah melalui Gerakan literasi ini adalah untuk menumbuhkan minat baca dan meningkatkan keterampilan menulis peserta didik. Selain itu melalui budaya membaca ini  akan meningkat pula karakter peserta didik dan pemahaman tentang wawasan kebangsaan.

Kita bisa melihat semangat literasi ini menggempita di beberapa laman media. Beberapa promosi dan iklan berseliweran di media sosial. Bahkan tidak jarang saya mendapat pesan pribadi tentang tawaran mengikuti pelatihan menulis dan menerbitkan buku bersama.

Lantas, sudah cukupkah mewujudkan budaya literasi ini dengan hanya semangat saja? Bila demikian, apa bedanya dengan kampanye, yang menebar janji dan teori. Lalu, apa saja yang diperlukan agar budaya literasi ini bisa tumbuh dan berkembang?

Bangun Komitmen Bersama

Saya yakin pembaca tidak asing dengan kata komitmen ini, bahkan mungkin kerap diucapkan dengan rekan kerja atau pasangan kita. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu, atau suatu bentuk tangggung jawab terhadap pekerjaan yang telah dipilihnya.

Dalam sebuah organisasi, perusahaan atau lembaga pendidikan komitmen ini sangat penting. Melalui komitmen ini, pekerja atau awak organisasi akan menjalankan tanggung jawabnya dengan loyalitas yang tinggi. Dengan komitmen ini pula sebuah lembaga akan mudah mengatasi setiap masalah yang muncul.

Begitu juga dalam menerapakan program literasi, baik di sekolah maupun organisasi kepenulisan. Sebelum benar-benar melaksanakan visi dan misi yang telah ditetapkan, masing-masing pekerja harus punya komitmen yang sama. Siap melaksanakan apa yang akan menjadi keputusan bersama-sama, tanpa ada unsur kepentingan pribadi.

Karena, program pengembangan budaya literasi ini tidak cukup hanya satu atau dua hari, tidak hanya satu dan dua kegiatan. Melainkan pembiasaan yang berkelanjutan. Jadi, membangun komitmen dengan duduk bersama, bicara dari hati dan pikiran jernih sangat diperlukan untuk hasil yang maksimal.

Buat Program yang Aplikatif

Setelah komitmen disepakati, langkah selanjutnya adalah membuat program yang aplikatif. Yaitu suatu renacana kegiatan yang langsung berupa penerapan, praktik dan membuahkan karya. Karena kalau masih berupa teori, maka yang muncul bukan lagi pembiasaan literasi melainkan teori-teori membaca, menyimak, berbicara atau menulis.

Misalnya, bila itu penerapan budaya literasi suatu sekolah, buat jadwal membaca intensif setiap hari, tentukan waktu dan buku yang harus dibaca. Tema buku yang dibaca bagi guru, karyawan serta siswa perjenjang dibedakan sesuai dengan kebutuhan.

Agar langsung bisa ada hasil atau karya, wajibkan semua pembaca mempunyai buku atau jurnal literasi harian. Tulis hasil membaca hari ini, beri kementar sesuai dengan refleksi pembacanya. Nah, bila sudah selesai satu buku, jurnal literasi ini bisa dijadikan kumpulan buku resensi kan.

Contoh program aplikatif lainnya, jadwalkan kelas menulis secara tatap muka dan daring bagi siswa dan guru. Dalam kelas ini, targetkan setiap hari, atau satu minggu satu karya. Bisa juga jadwalkan secara rutin ceramah keagamaan, psikologi atau motivasi. Kegiatan ini juga bisa digunakan untuk bahan tulisan warga sekolah.

Bila budaya literasi ini untuk program sebuah organisasi kepenulisan, buatlah grup diskusi kepenulisan dengan atau tanpa narasumber. Selanjutnya targetkan juga untuk berkarya dengan komitmen waktu yang telah disepakati.  

Karena sudah ada komitmen bersama, maka dalam program ini, hendaknya dilaksanakan semua warga sekolah atau anggota organisasi, tanpa kecuali.

Beri Teladan bukan Teori

Sebuah lembaga pendidikan atau organisasi, pasti ada pemimpin yang bertugas memimpin jalannya roda pendidikan atau keorganisasian. Menurut Wikipedia kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Jadi jelas bahwa salah satu tugas seorang pemimpin adalah memberi contoh kepada para bawahan. Berkaitan dengan budaya literasi ini, ketika sudah tercipta komitmen, ada program aplikatif, maka tugas utama pemimpin adalah memberi contoh dengan melaksanakan pembiasaan literasi.

Bila suatu ketika pemimpin tidak melaksanakan program yang telah dicanangkan bersama, tentu ini akan menodai kepercayaan warga yang dipimpinya. 

Barangkali akan sangat keren ya, bila dalam budaya literasi ini, karya yang pertama terbit, orang yang paling banyak mengoleksi buku bacaan adalah pemimpin mereka. Eitts, bukan koleksi buku saja lo, melainkan juga dibaca. So, pasti waw..  

Satu teladan akan lebih baik daripada seribu teori. Meskipun semua diawali dengan kata-kata, akan tetapi tetap harus diwujudkan dalam bentuk karya. 

Karena harkat seorang pemimpin itu bukan pada manisnya nasihat atau motivasi, melainkan pada keteladanan itu sendiri yang selaras dengan keindahan kata-katanya.

Fasilitasi Media Publikasi

Setelah semua program dan kegiatan literasi ini dilaksanakan dengan baik, langkah terakhir adalah fasilitasi karya warga sekolah atau anggota organisasi ini dengan media publikasi. Banyak media yang bisa dipilih untuk publikasi karya tulisan.

Hasil karya literasi ini bisa dipublikasikan dengan memanfaatkan majalah dinding, majalah terbitan berkala, jurnal ilmiah, blog, website, atau diterbitkan dalam bentuk buku. Pada zaman milenial seperti sekarang ini, tidak sulit mempromosikan apa pun kan.

Nah, bagaimana guys? Untuk menumbuhkan budaya literasi, tidak cukup dengan semangat membara kan? Perlu kerja keras, tantangan, kesabaran dan keuletan dalam menapaki tahap demi tahab program yang telah ditetapkan bersama.

Khusus untuk para pejuang literasi, semoga tetap semangat, pantang menyerah dan tentunya tetap berinovasi dan berkarya.

Salam literasi!

3 November 2020

Enik Rusmiati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun