Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Buntut Singkong

12 Juli 2019   17:33 Diperbarui: 12 Juli 2019   17:45 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki itu masih saja berdiri di dekat jendela di ruang kantor berlantai lima, tampak di ruang berukuran 6x7 meter ini terdapat komputer dan print, disebelahnya almari arsip berderet di dinding. Di atasnya bergantung pigora foto seorang ibu setengah baya dan pemudan tampan dan gagah. Hanya ada suara jam dinding yang berbicara memecah kesunyian di ruang ber-AC ini.

Laki-laki itu masih memandang para pekerja di perushaannya lewat CCTV yang ada di ruang kerjanya. Tangan-tangan para karyawan memasukkan singkong ke mesin pengupas, lalu memasukkan lagi ke alat untuk perajang. Dalam sekejab mesin-mesin itu telah mampu mengubah singkong-singkong menjadi aneka bentuk. Ada yang berbentuk bulatan, kotak-kotak persegi dan kecil-kecil panjang. Setelah itu dibawa ke ruang khusus memasak, selanjutnya para karyawan tersebut membawanya ke dalam mesin pengemas, secara otomatis singkong-singkong tersebut telah berubah menjadi aneka kripik singkong dengan aneka rasa yang lezat.

Setelah sekian lama ia mengawasi para karyawanya, Laki-laki itu berjalan menuju jendela, ia singkap kelambu sutera yang berderat disamping tempat duduk Laki-laki itu. Sejauh mata ia  memandang, dari lantai paling atas kantornya, beberapa anak jalanan sedang melakukan kegiatannya tanpa merasa bahwa ia diamati seseorang. Anak itu memang  diminta Laki-laki itu untuk bekerja  di kantornya sebagai juru parkir dan office boy. Tanpa satu haripun ia lewatkan untuk melihat mereka dari atas. Anak-anak itu merupakan asa bagi Laki-laki itu dalam menapaki hari-harinya untuk selalu membahagiakan ibunya.

Menjadi anak Mbok Minten bukanlah sesuatu yang harus disesali. Walaupun ia harus berpisah dengan bapaknya. Kenyataan yang memaksa harus memilih untuk ikut bapaknya atau ibunya. Gara-gara wanita penari tayub desa, bapaknya harus menyakiti mbok minten dan Reza. Mbok Minten memang perempuan yang tabah, tak ada sedikitpun usaha untuk protes tentang kelakuan suaminya. Ia memilih untuk pergi dari rumah dengan hanya membawa sedikit pakaian bersama Reza. Walaupun perih perlakuan suaminya, namun ia tidak pernah sekali saja menanamkan kebencian di hati Reza.

"Reza, hidup ini memang pilihan, tidak memilihpun itu juga pilihan. Kalau kita sudah memilih dengan pilihan kita maka harus siap menerima segala resiko yang akan terjadi",  mbok Minten berusaha menggembirakan Reza. "Kamu jangan pernah melihat penderitaan ini sebagai musibah, tapi kamu harus selalu berusaha untuk menemukan hikmah didalamnya". Begitu nasehat mbok Minten kepada anak semata wayangnya Reza.

Reza memang terlalu kecil untuk bisa memahami kenyataan hidup orang tuanya. Sejak bapaknya menikah lagi, terpaksa Reza dan ibunya harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan tidak jarang, karena keterpurukan ekonominya, ia menjadi bahan olok-olok teman-teman bermainnya.

"Reza, kamu tidak pernah makan jajan ya? Aku tidak pernah lihat kamu membeli jajan? Memangnya ibumu tidak punya uang untuk saku kamu ya?" ejek Bagas temanya di sekolah.

"Iya itu Reza, uang tidak punya, bapak juga tidak punya, kasihan sekali kamu Reza",  sahut Rijal. Setelah itu Reza selalu berlari pulang untuk menumpahkan sakit hatinya  dipangkuan ibunya. Mbok Minten dengan sabar dan  dengan air mata yang ditahan mengusap air rambut  Reza penuh kasih.

"Sabar nak, nanti kalau ibu sudah mendapat upah dari juragan Narto pasti kamu akan ibu belikan jajan yang banyak",  kata ibunya menjanjikan.

"Benar ya bu", mata  Reza tampak berbinar-binar bahagia, walaupun itu hanya sebuah janji. Namun janji ibunya telah mampu mengobati kecewa dihatinya.

Seperti hari-hari sebelumnya, Reza masih saja berdiri di pojok gang menuju rumahnya, memandang gerobak tempat menjual jajan gorengan. Hal itu ia lakukan hampir setiap hari, sambil menunggu ibunya pulang dari rumah juragan Narto. Sesekali harus menelan air ludahnya sekedar berimajinasi makan gorengan yang dilihatnya di seberang jalan tempatnya berdiri. Ia sangat berharap ada pembeli yang iba kepadanya lalu memberinya secuil pisang goring atau singkong goreng untuk mengobati khayalnya tentang rasa jajan gorengan.

Matanya tetap memelototi tempat gerobak gorengan, walaupun ada orang  yang lewat di depannya, namun tak satupun yang peduli dengan keinginan Reza. Sekali lagi rasa kecewa menjalar ke sekujur ulu hatinya. Ia harus menelan kenyataan pahit tentang keinginannya untuk makan jajan gorengan. Ketika ia akan membalikkan tubuhnya, tiba-tiba penjual gorengan itu memanggilnya.

"Hai... kamu kesini", teriak laki-laki paroh baya dengan melambaikan tanganya kearah Reza.

"Saya pak", tegas Reza meyakinkan.

"Iya kamu, ayo lari kesini, hati-hati kalau menyeberang jalan", laki-laki penjual gorengan melambaikan tanganya kearah Reza.

 "Ada apa Pak?" tanya Reza begitu sampai di dekat penjual gorengan.

 "Bapak lihat sudah empat hari ini kamu berdiri di sana, ada apa nak? Apakah ada orang yang sedang kamu tunggu?" tanya penjual gorengan tadi sambil mengaduk-aduk singkong  di wajan.

"Tidak ada yang saya tunggu pak",  jawab Reza bingung.

"Lalu kenapa kamu selalu berdiri di sana", penjual gorengan semakin penasaran.

"Saya ingin sekali makan jajan gorengan, tapi ibu tidak punya uang untuk membelinya. Jadi saya berdiri saja di sana sambil membayangkan rasanya jajan gorengan".

"Oalah nak, kenapa tidak minta saja ke bapak pasti akan bapak kasih, nih bapak punya buntut singkong goring, ayo di makan, boleh dimakan disini boleh dibawa pulang", penjual gorengan membungkuskan singkong goring kepada Reza.

"Terima kasih Pak, jadi ini tidak membayar Pak, kenapa diberikan saya? Apakah Bapak nanti tidak rugi?" tanya Reza khawatir.

"Tidak, nak, buntut-buntut singkong ini tidak bapak jual, yang dijual hanya tengahnya saja. Jadi kamu bisa setiap hari ke sini untuk makan buntut singkong goring", jelasnya

"Benarkah pak?" Reza merasa tidak percaya dengan jawaban penjual gorengan.

"Iya benar, o ya nama kamu siapa? Kalau bapak, orang-orang biasa memanggil pak Juned gorengan".

"Saya Reza pak, anaknya Mbok Minten yang kerja di rumahnya juragan Narto, kami tinggal di desa ini masih dua bulan pak, pindahan dari desa sebelah", jelas Reza

"Ya sudah kalau begitu, ayo segera di makan singkongnya, nanti keburu dingin, tidak enak".

"Ya pak, terima kasih, buntut singkong goreng akan saya bawa pulang saja " jawab Reza sambil berlari menyeberang jalan.

Seperti ada balon udara dalam tubuh Reza. Ia berlari kencang menembus rintik-rintik hujan yang sejak tadi masih ingin membasahi kampung itu. Buntut singkong goreng dibungkus tas kresek hitam terayun-ayun di tangan kanan Reza. Kaki-kaki mungil Reza yang tanpa alas  sangat ringan di atas jalan aspal yang belum selesai di renovasi. Tujuannya hanya satu menujukkan kepada Bagas, Rijal dan teman-teman yang lain bahwa ia bisa makan jajan. Tepat di depan rumah mewah Reza berhenti di depan gerbang. Tangan kanan masih memegang buntut singkong goreng, tangan kirinya memegang pagar besi kokoh yang tegak berdiri mengitari halaman luas hijau.

Di halaman rumah tersebut tampak Bagas, Rijal dan teman-teman yang lain bermain mobil remot. Reza hanya memandangi jalannya mobil-mobil yang dikendalikan oleh remot controlnya Bagas. Sesekali temanya minta bergantian. Ketika melihat Reza di depan pagar besi Bagas berteriak lantang.

"Hai Reza, kenapa kamu di situ, kalau ingin bermain di sini kamu harus membawa mobil-mobilan".

"Apa yang kamu bawa Reza?" Rijal menimpali pertanyaan Bagas.

"Teman-teman, aku punya jajan",  Reza menunjukkan bungkusan kresek membanggakan jajan gorengan pemberian pak Juned.

"Memangnya ibumu sudah uang untuk membelikan kamu jajan?" tanya Bagas lagi.

"Iya, apa kamu mau jajan saya?", Reza menawarkan singkong buntutnya.

"Memangnya jajan apa sih yang kamu bawa?" Tanya bagas ingin tahu

"Singkong goreng, masih hangat kok, dingin-dingin seperti ini enak lo makan singkong goring? Kata Reza

"Baiklah aku mau, masuk saja pintunya tidak di kunci kok", pinta Bagas kepada Reza.

 Dengan langkah ragu-ragu tapi dengan hati yang penuh dengan kepuasan, Reza menenteng singkong kebanggaanya untuk dinikmati bersama teman-temannya. Teman-teman Reza juga sangat senang dengan singkong yang dibawanya.

Sejak peristiwa itu, setiap sore Reza membantu pak Juned berjualan gorengan, sebagai imbalannya ia mendapatkan buntut singkong goreng. Kadang buntut-buntut singkong tersebut masih mentah di bawa pulang ke rumah, kemudian ibunya memasaknya menjadi aneka hidangan untuk sarapan atau makan malam Reza.

"Pak Reza, saya sudah menemukan tempat pak Juned menjual gorengan?" tanya sopir Reza yang tiba-tiba muncul membuyarkan lamunanya.

"O ya, benarkah itu pak" jawab Reza seolah tidak percaya. Sudah satu bulan ini Reza menyuruh sopirnya untuk mencari pak Juned. "Baiklah kalau begitu, sekarang juga kita berangkat", ajak Reza semangat.

"Mari  Pak", jawab sopir Reza, yang ikut merasakan kebahagiaan majikannya.

"Mengapa Bapak ingin sekali bertemu dengan seorang penjual gorengan?" tanya sopir Reza heran, sambil sesekali melihat Reza dari kaca spion, tampak mata Reza berbinar-bunar seolah-olah akan menenukan seseorang yang amat dirindukannya. "Padahal bapak ini kan pengusaha sukses, teman bisnis bapak kan orang-orang dari luar negeri, apakah bapak akan berbisnis dengan seorang penjual gorengan pak?" selidik sopir Reza.

Mendengar pertanyaan dari sopirnya Reza hanya tersenyum, "Nanti Bapak akan tahu kenapa saya ngotot ingin menemuinya", jawa Reza kalem.

Kali ini Reza merasa Jakarta seperti penuh sesak. Jalan-jalan penuh dengan jejalan mobil-mobil. Ia merasakan perjalanan hari ini ditempuh sangat lama. Rasanya ia ingin keluar dari mobil menerjang arus lalu lintas, untuk segera bertemu dengan pak Juned.

"Masih jauh Pak", Reza semakin  tidak sabar untuk segera bertemu dengan penjual gorengan.

"Perempatan depan itu masih lurus, terus satu perempatan lagi Pak",  sopir Reza menjelaskan. "Sudah tidak sabar ya pak?" Tanyannya heran kepada bos nya ini.

Masih seperti tadi, ketika ditanya Reza hanya memberikan senyuman yang sulit diartikan. Sopir Reza semakin penasaran, lalu dikebutkan mobilnya ketika jalanan agak sepi.

"Nah, itu pak gerobaknya pak Juned, itu dia orangnya yang memakai kaos oblong kuning dengan kopyah hitam" jelasnya kepada Reza.

Reza segera membuka mobil mewahnya, hatinya berdebar-debar, dia memandang di ujung seberang jalan, hatinya semakin gelisah. Langkah-langkahnya mengikuti irama detak jantungnya. Sorot matanya penuh dengan kerinduan yang berbaur haru. Begitu tiba di depan gerobak Reza berhenti, tidak ada kata-kata yang terucap. Matanya memandangi tangan-tangan perkasa pak Juned mengaduk-aduk gorengan di atas wajan.

"Maaf Pak, Bapak ingin membeli gorengan apa?"  pak Juned heran melihat orang kaya berada di dekat gerobak gorengannya.

"Pak Juned, Bapak masih ingat kira-kira 24 tahun yang lalu ada seorang bocah laki-laki yang selama empat hari berdiri di ujung seberang jalan sana, memandangi gerobak Bapak?" tanya Reza. Pak Juned berhenti sejenak, tatapanya beradu dengan mata Reza. Ia memandangi Reza dari rambut sampai ujung sepatunya. Tetapi pikirannya melayang-layang  pada peristiwa 24 tahun yang lalu.

"Reza, ya ya, anak itu yang beridiri di seberang jalan sana, karena ingin makan jajan gorengan saya",  pak Juned mengingat-ingat perstiwa 24 tahun yang lalu.

"Sayalah Reza pak, yang dulu setiap hari Bapak beri  buntut singkong". Jawab Reza

 "Ya Alloh, Engkau memang  Maha Pemurah, benarkah yang bapak lihat hari ini? Apakah saya tidak sedang bermimpi?" tanya pak Juned penuh heran.

"Benar pak, ini kenyataan, bapak tidak bermimpi", tegas Reza dalam keragu-raguan pak Juned.

"Sudah satu bulan ini saya mencari bapak, saya ingin mengajak Bapak umroh bersama istri bapak juga ibu saya" pinta Reza kepada pak Juned.

"Umroh? Kenapa nak Reza mengajak saya?" tanya pak juned penuh keheranan.

"Karena bapak telah memberikan sepotong buntut singkong goring kepada saya 24 tahun yang lalu", ada binar-binar kebahagiaan di mata Reza.

"Tapi  itu kan hanya sepotong buntut singkong nak, bahkan singkong tersebut memang bukan untuk di jual, bapak juga biasa memberikan kepada orang-orang di sekitar sini nak", jelas pak juned semakin heran.

 "Benar pak, bagi bapak itu hanya sepotong buntut singkong yang tidak berharga, namun bagi saya pada waktu itu, tidak hanya sekedar buntut singkong pak,  Bapak telah memberikan saya sebuah harga diri di hadapan teman-teman bermain saya, dengan buntut singkong tersebut saya merasa bisa diterima teman-teman, menjadi manusia berharga, saya bisa memamerkan kepada teman-teman bahwa saya juga bisa jajan, bahkan mampu memberikan jajan kepada orang lain.  Sepotong buntut singkong goreng yang bapak berikan waktu itu benar-benar telah memberikan kebahagiaan dalam hidup saya",  

"Buntut-buntut singkong yang bapak berikan, dengan bantuan ibu saya, mampu memberikan ide kepada saya untuk memulai usaha dari bahan singkong, melalui Bapaklah saya bisa pengusaha kripik singkong", Reza masih memberi penjelasan kepada pak Juned yang tetap tertegun dengan bola mata lugunya.

"Karena Bapak telah memberikan kebahagiaan kepada saya, makan izinkan saya untuk membahagiakan bapak beserta istri dengan mengajak Bapak Umroh bersama saya dan ibu saya, bersedia kan Pak"

"Alhamdulliahi Robbil alamin, terima kasih ya Alloh, Engkau telah memberikan manusia baik hati kepada kami", dipeluknya Reza erat-erat dalam keharuan pak Juned. Reza membalas pelukan pak Juned seperti anak yang telah sekian lam berpisah dengan orang tuanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun