"Tidak, nak, buntut-buntut singkong ini tidak bapak jual, yang dijual hanya tengahnya saja. Jadi kamu bisa setiap hari ke sini untuk makan buntut singkong goring", jelasnya
"Benarkah pak?" Reza merasa tidak percaya dengan jawaban penjual gorengan.
"Iya benar, o ya nama kamu siapa? Kalau bapak, orang-orang biasa memanggil pak Juned gorengan".
"Saya Reza pak, anaknya Mbok Minten yang kerja di rumahnya juragan Narto, kami tinggal di desa ini masih dua bulan pak, pindahan dari desa sebelah", jelas Reza
"Ya sudah kalau begitu, ayo segera di makan singkongnya, nanti keburu dingin, tidak enak".
"Ya pak, terima kasih, buntut singkong goreng akan saya bawa pulang saja " jawab Reza sambil berlari menyeberang jalan.
Seperti ada balon udara dalam tubuh Reza. Ia berlari kencang menembus rintik-rintik hujan yang sejak tadi masih ingin membasahi kampung itu. Buntut singkong goreng dibungkus tas kresek hitam terayun-ayun di tangan kanan Reza. Kaki-kaki mungil Reza yang tanpa alas  sangat ringan di atas jalan aspal yang belum selesai di renovasi. Tujuannya hanya satu menujukkan kepada Bagas, Rijal dan teman-teman yang lain bahwa ia bisa makan jajan. Tepat di depan rumah mewah Reza berhenti di depan gerbang. Tangan kanan masih memegang buntut singkong goreng, tangan kirinya memegang pagar besi kokoh yang tegak berdiri mengitari halaman luas hijau.
Di halaman rumah tersebut tampak Bagas, Rijal dan teman-teman yang lain bermain mobil remot. Reza hanya memandangi jalannya mobil-mobil yang dikendalikan oleh remot controlnya Bagas. Sesekali temanya minta bergantian. Ketika melihat Reza di depan pagar besi Bagas berteriak lantang.
"Hai Reza, kenapa kamu di situ, kalau ingin bermain di sini kamu harus membawa mobil-mobilan".
"Apa yang kamu bawa Reza?" Rijal menimpali pertanyaan Bagas.
"Teman-teman, aku punya jajan", Â Reza menunjukkan bungkusan kresek membanggakan jajan gorengan pemberian pak Juned.