"Ya, jelas, lah, Bu," jawabnya dengan pipi melembung tanda hatinya masih menyimpan marah.
"Yo wis, kalau kamu gak suka digituin, kamu gak usah niru kayak dia, ya!" kataku menasehatinya.
"Ya, Bu," jawabnaya ringan, lalu melanjutkan keriangannya bersama teman-temannya, saling meyiprati air, saling mengguyur dan berlarian.
Aku melanjutkan menyapu sambil terus berpikir, apakah aku pun selama ini sudah bisa memperlakukan anak kecil seperti orang dewasa yang juga punya hati dan perasaan? Apakah selama ini aku menganggap anak kecil sebagai boneka mini yang gak bisa membedakan salah dan benar?
Aku jadi bertanya terhadap diriku sendiri. Apakah aku juga termasuk orang yang suka semaunya dan menggangap remeh terhadap anak kecil? Apakah aku sudah layak dikatakan sebagai orang dewasa yang pantas menjadi contoh bagi anak-anak? Apakah aku makhluk dewasa yang sombong dan bisa bicara sembarangan padanya? Oh, begitu banyak pertanyaan bersembunyi di benakku.
Kuperhatikan wajah si Ari itu lagi, kulihat dia sudah bergembira dengan teman-temannya. Bagitulah anak-anak. Marah sebentar, lalu melupakan. Sewot sesaat, lalu beganti keceriaan. Mudah tersingung, mudah memaafkan. Indahnya hidup mereka, tak ada dendam, tak ada episode duka, tak ada serial marah berkelanjutan. Maya Allah, cepat sekali untuk move on. Sedangakan aku si dewasa, bisakah begitu?
"Terimakasih, Nak, kamu sudah menjadi guruku hari ini, walau kutahu kamu masih kelas lima SD, tapi aku tahu siapapun berhak menyampaikan kebenaran," kataku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H