Suatu sore pada acara rutin kerja bakti, tiba-tiba sekelompok anak kecil terpanggil hatinya untuk ikut membantu kami emak-emak untuk membersihkan taman kampung. Mereka baru saja usai bermain sepak bola, masih tampak keringat di dahi mereka plus aroma kurang sedapnya. Kegirangan mereka untuk membantu semata karena ingin bermain air sambil menyiram bunga, sekaligus mengguyur tubuh mereka yang haus kesejukan.
"Aku mangkel sama orang itu!" kata Ari sambil menunjukkan ekspressi geramnya sesaat setelah pak Ibrahim lewat.
"Kalau kamu sewot, kenapa nggak kamu siram saja pas dia lewat tadi?" sahut temannya sambil mengacungkan selang air yang sedang dipegang tangan Ari.
"Emangnya kenapa sih, Ri?" kata yang lainnya menimpali.
"Tadi kan aku tanya sama dia, pak lihat adikku lewat sini gak? Terus dia bilang, gak tahu! memangnya aku ini ngurusin adikmu? Kamu pikir aku ini pembantumu, ya?" dia jawab gitu sambil marah-marah."
Ari menjelaskan pada teman-temannya lengkap dengan gaya dan caranya Pak Ibrahim berkata-kata.
"Emang sebaiknya dia jawabnya gimana, Nak?" Tanyaku ikut nimbrung yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka karena posisiku tak jauh darinya.
"Ya seharusnya cuma jawab, gak tahu, Nak. Itu kan sudah cukup, daripada jawab panjang tapi bikin orang mangkel, toh aku juga tanya sama dia baik-baik. Lho kok dia jawabnya seperti itu!" jawab Ari sambil merengut menumpahkan pembelaannya.
"Betul sekali kamu, Ri," pujiku sambil angkat dua jempol.
"Ya dimaklumi saja, Nak, mungkin Pak Ibrahim lagi kesel hari ini," kataku menenangkannya.
"Kamu sakit hati digituin?" tanyaku sebagai bentuk empati padanya.
"Ya, jelas, lah, Bu," jawabnya dengan pipi melembung tanda hatinya masih menyimpan marah.
"Yo wis, kalau kamu gak suka digituin, kamu gak usah niru kayak dia, ya!" kataku menasehatinya.
"Ya, Bu," jawabnaya ringan, lalu melanjutkan keriangannya bersama teman-temannya, saling meyiprati air, saling mengguyur dan berlarian.
Aku melanjutkan menyapu sambil terus berpikir, apakah aku pun selama ini sudah bisa memperlakukan anak kecil seperti orang dewasa yang juga punya hati dan perasaan? Apakah selama ini aku menganggap anak kecil sebagai boneka mini yang gak bisa membedakan salah dan benar?
Aku jadi bertanya terhadap diriku sendiri. Apakah aku juga termasuk orang yang suka semaunya dan menggangap remeh terhadap anak kecil? Apakah aku sudah layak dikatakan sebagai orang dewasa yang pantas menjadi contoh bagi anak-anak? Apakah aku makhluk dewasa yang sombong dan bisa bicara sembarangan padanya? Oh, begitu banyak pertanyaan bersembunyi di benakku.
Kuperhatikan wajah si Ari itu lagi, kulihat dia sudah bergembira dengan teman-temannya. Bagitulah anak-anak. Marah sebentar, lalu melupakan. Sewot sesaat, lalu beganti keceriaan. Mudah tersingung, mudah memaafkan. Indahnya hidup mereka, tak ada dendam, tak ada episode duka, tak ada serial marah berkelanjutan. Maya Allah, cepat sekali untuk move on. Sedangakan aku si dewasa, bisakah begitu?
"Terimakasih, Nak, kamu sudah menjadi guruku hari ini, walau kutahu kamu masih kelas lima SD, tapi aku tahu siapapun berhak menyampaikan kebenaran," kataku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H