Mohon tunggu...
Engkos Kosasih
Engkos Kosasih Mohon Tunggu... Operator - 100 komentar, bisa yuk

Menulis tidak hanya bekerja untuk keabadian, menulis juga bekerja untuk perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Pendidikan Formal Tidak Lagi Menjadi Harapan

27 Agustus 2024   19:27 Diperbarui: 27 Agustus 2024   20:00 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan merupakan faktor terpenting dalam membangun sebuah bangsa. Melalui pendidikan kualitas sumber daya manusia akan meningkat. Hal ini merupakan harapan kita bersama, termasuk guru dan orang tua.

Namun kenyataannya banyak ditemukan aspek-aspek yang membuat pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, termasuk sarana dan prasarana penunjang keberhasilan pendidikan.

Salah satu sarana terpenting dalam menunjang proses pendidikan adalah bahan ajar, atau buku teks. Buku teks seharusnya menjadi sarana terpenting bagi siswa dalam menyerap dan mengolah ilmu pengetahuan, nyatanya buku teks yang diterbitkan oleh pemerintah menuai polemik di masyarakat.

Saya ambil contoh komentar di salah satu media sosial, setidaknya ada ribuan komentar masyarakat terkait buku teks siswa. Mereka mengomentari sebuah video yang diunggah oleh akun e_kosasih di salah satu platform media sosial dengan judul "Buku Teks Yang Membodohi Siswa". Dalam waktu 6 hari video ini telah ditonton oleh lebih dari 1,2 juta pengguna, 118,5 ribu like, dan 6.602 komentar. 

Berikut diantara komentar-komentarnya:

" Bapak baru lihat skrg kami para guru mau gak mau ya ngajar sesuai kurikulum yg berlaku, jujur skrg ini ngajar anak susah krna kemampuan anak di bawah rata2 sementara pelajaran semakin tinggi" (febr****) 

"Betul pak materinya lompat2, dan kadang gak sesuai usianya, makanya pas di rumah saya ajarkan anak dari mulai yg mudah ke yg susah, apalagi buku pendamping tulisannya rapat dan kecil" (riyan*****)

"Saya skrg bingung saat mendampingi anak belajar, polanya rancu dan membingungkan, alurnya tdk sesederhana dulu thn 80-an, dulu kakak bisa ngajarin adiknya, karena kurikulumnya sama karena alurnya terpahami, klo skrg setiap angkatan rasanya tdk bisa saling berbagi ilmu. Makanya saya tdk memaksa anak utk sesuai standar secara nilai, saya hanya mendorong dia utk bertahan dan menyerap ilmu saja semoga berguna utk hidupnya kelak" (WI****)

"Saya guru les privat, mengajarkan tematik itu gak nyambung satu bab dg bab yg lainnya, sy mengamati pak tapi gak bisa protes" (nurfa*****)

"Bener bgtttt, aku sbg guru, malah bikin modul sendiri, buku dr pemerintah sayang gak kepake, padahal biaya cetak pasti ngeluarin byk anggaran" (Aisyah*****)

"Bener sekali pak, saya sampai geleng2 kepala dan pengen nangis membaca buku pelajaran anak sy, kelas 3 SD diajarin klasifikasi binatang, siklus hidup hewan dll, dg bahasa yg terlalu berat, padahal dulu itu materi pelajaran di SMP, bahasa indonesia menyedihkan juga, sudah diajari teks oposisi dan lain2, padahal anak blm bisa membaca efektif dan menulis karangan tapi langsung disuapi materi seperti itu, siapa yg menyusun materi seperti ini, apa yg diharapkan dg menyusun materi seperti ini kpd anak2?" (ya***)

"Benarrr, buku cetak sekolah susah dimengerti.. malah lebih gampang pas liat teori dari youtube" (STAY*****)

"Buku sekarang bukan anaknya yg belajar tapi orang tuanya yg belajar" (yuliana*****)

"Saya pensiunan pernah berpendapat yg sama. Pernah ngajar dengan kurikulum yg berganti-ganti. Guru aja stress, apalagi murid" (craf****)

"saya sebagai seorang guru yg merasakan ketimpangan ini, sangat terharu dg penyampaian bapak ini, karena memang apa yg kami hadapi di sekolah/struktur bukunya seperti itu" (dianovita****)

"aku yg jadi gur juga jd bingung, mereka baca perintah soal aja susah bgt, sampe mikir ini knp ya? Utk hal baca perintah soal aja mereka kurang paham" (****)

"aku guru, aku pernah ngajar tematik dan pernah juga buku paket per mapel. Emang bener anak anak lebih bingung pas tematik karena sering gak nyambung. Dan bener bgt juga kalau bacaan tidak sesuai kemampuan" (ekaja*****)

"Orang yg di bidangnya aja gak ngerti apalagi saya cuma ibu rumah tangga biasa, ambyar lah, kelas 4 sd aja belajarnya udah kayak SMA" (vin*****)

"Kacau balau sistem kurikulum sekolah skrg....saya skrg jd org tua dan melihat bagaimana tiap2 mata pelajaran itu sgt tdk cocok/tdk sesuai dg level kelasnya" (Ki Dja*****)

"Saya juga pusing dengan pelajaran anak saya, kasihan anak saya masih kecil sudah begitu byk pembelajaran, tdk ada waktu mbolang bermain dg teman" (riz*****)

"asli sekarang pelajaran ekonomi kurikulum merdeka pas awal awal gw disuruh belajar investasi saham yang bahkan guru gw gak tau apa itu saham" (br***)

"Setuju, saya ibu rumah tangga tapi sering ngecek buku tidak sesuai" (honey****)

"Dulu awal ngeles anak kecil di sekitar rumah, pas aku liat buku tematiknya booom pusingnya luar biasa gilaa, terus aku kayak yang, pantes mereka pada gak bisaaaa, gila enakkan buku jaman gw SD" (kesayangan*****)

"Itulah kenapa aku cuma ajarkan anakku di rumah, sekolah cuma sampingan krn guru sekolah sekarang dan kurikulum sekarang gak bisa diandelin" (Nur, ainu****)

"Bener bgt buku paket seperti gak berguna bgt ya. Kita harus cari buku referensi lain buat mengajar" (hard*****)

"Iya...bener! Anakku susah nangkap bahasanya yg terlalu susah dicerna dg otak anak yg masih SD" (ira****)

"Dulu waktu jaman sekolah pake buku paket kurikulum KTSP tuh ngebantu banget, aku lebih cepet baca dulu terus nyimak penjelasan dari guru, bener2 buku ngebantu bgt, tapi sekarang?" (Lintang*****)

"Saya ngajar dari 2013, smp skrg sudah berapa kali ganti kurikulum tapi saya masih pake buku dr kurikulum KTSP" (Nar*****)

"Yuk ibu kita cari buku jaman dahulu, buku erlangga, rpal, rpul, buat belajar sendiri di rumah" (ch****)

"Ujung ujung e saya menulis buku. Wkwkwk inti e kalau mau beres balikin ke jaman pak Harto. Indonesia akan menjadi maju" (Mas Martin******)

"Insya Allah keputusan saya tepat berhenti mengajar sekolah umum dan memilih bertahan jd guru ngaji. Jelas arahnya, yaitu agar anak bisa baca Qur'an" (Fitrah****)

"Cuma di masa orde baru sajalah yg kurikulumnya bagus dan mendidik anak. Bahkan siaran tv juga mendidik" (Aban*****)

Komentar-komentar tersebut menunjukkan bahwa pendidikan sekarang tidak sesuai dengan yang mereka -- orang tua -- harapkan. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Bagi guru, laksanakan tugas anda sebagai guru namun tambahkan nilai pada pengajaran anda. Sisipkan kisah-kisah menarik yang bisa menginspirasi dan memotivasi siswa. Jika anda merasa punya kemampuan lebih maka segera buka les atau bimbingan belajar, online lebih baik karena jangkauannya akan lebih luas. Bisa juga mencari sekolah-sekolah swasta yang mau membayar lebih atas profesionalisme anda.

Bagi orang tua, carilah sekolah-sekolah swasta yang sesuai dengan visi-misi anda dalam pendidikan anak. Rubah mindset bahwa sekolah negeri lebih baik, nyatanya banyak sekolah swasta justru lebih unggul.

Jangan jadikan sekolah formal sebagai satu-satunya harapan untuk masa depan anak, biarkan anak mengenali dirinya dan potensinya, biarkan anak mencoba berbagai hal sesuai bakat dan kemampuannya untuk bekal mereka di masa depan. Jangan biarkan anak terpenjara oleh tugas-tugas dan kegiatan sekolah yang menumpuk. Nyatanya, sekolah 12 tahun pun tidak menjamin untuk masa depannya, sebab mereka akan terkendala usia ketika ingin bekerja. Dengan mencoba berbagai hal dan menemukan potensi dan bakatnya, bisa menjadi modal untuk masa depannya.

Ketika sekolah formal tidak lagi menjadi harapan, maka pendidikan nonformal bisa menjadi alternatif lain sebagai bekal masa depan anak kelak.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun