Mohon tunggu...
Engkos Kosasih
Engkos Kosasih Mohon Tunggu... Operator - 100 komentar, bisa yuk

Menulis tidak hanya bekerja untuk keabadian, menulis juga bekerja untuk perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Parfum dan Etika Sosial dalam Islam

22 Juni 2024   04:42 Diperbarui: 23 Juni 2024   06:12 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: linggau pos

Tahukah anda bahwa parfum yang sekarang berbentuk cair dan disemprotkan dahulu adalah berupa asap?

Yap, parfum dahulu kala merupakan asap hasil dari pembakaran kayu atau getah pohon yang dikeringkan.

Adalah peradaban Mesopotamia yang pertama kali menggunakan dupa atau asap dari pembakaran kayu untuk ritual-ritual keagamaan, dupa ini kemudian berkembang di Mesir sebelum nantinya ditemukan cara-cara penyulingan; mengubah bahan-bahan wewangian menjadi berbentuk cair.

Kata "parfum" sendiri berasal dari bahasa latin, gabungan dua kata, yaitu "per" (menyeluruh, melalui) dan "fumus" yang berarti asap. Gabungan dua kata ini menjadi per fume (asap yang melalui atau menyeluruh).

Lalu, kapan pertama kalinya parfum berbentuk cair?

Tercatat dalam sejarah bahwa seorang ahli kimia Muslim Jabir bin Hayyan pada abad ke-9 M telah mengembangkan berbagai teknik untuk mendapatkan sari wewangian dari berbagai macam bahan.

Jabir bin Hayyan yang wafat tahun 806 M telah melakukan proses destilasi (penyulingan), filtrasi (pemisahan) dan evaporasi (penguapan) untuk membuat wewangian.

Perkembangan proses pembuatan parfum kemudian dilanjutkan oleh Al Kindi (801-873 M). Dari penelitiannya ia berhasil mengkombinasikan berbagai aroma wewangian menjadi beberapa macam aroma yang khas dengan sensasi yang berbeda.

Bukunya yang berjudul kimiya al 'itr wa al asidat memuat lebih dari 100 jenis wewangian dan obat herbal.

Ibnu Sina (980-1037 M) tidak hanya terkenal sebagai ahli kedokteran, ia pun menyumbangkan pemikirannya pada industri parfum. Ibnu Sina memperkenalkan proses ekstraksi minyak dari berbagai macam bunga yang sekarang disebut distilasi.

Pada masa kejayaan Islam itulah proses pembuatan parfum berkembang, dengan berbagai macam teknik dan menghasilkan bermacam-macam aroma degan sensasi wangi yang berbeda.

Setelah terjadinya perang Salib, Eropa kemudian mengembangkan proses pembuatan parfum yang mereka dapatkan dari kebudayaan Islam pada waktu itu.

Mengapa Umat Islam yang pertama kali mengembangkan proses pembuatan parfum?

Parfum atau wewangian lekat sekali dengan budaya Islam. Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai wewangian. Meskipun setiap jengkal tubuhnya bahkan keringat beliau wangi, beliau tetap memakai wewangian, dan menganjurkan umatnya untuk selalu bersih dan memakai wewangian.

Umat Islam dianjurkan untuk memakai parfum ketika hendak beribadah, bahkan sunnah hukumnya untuk mandi, menggosok gigi dan memakai parfum ketika hendak pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat Jum'at.

Kecuali bagi perempuan, hanya boleh memakai parfum demi untuk suaminya.

Dengan memandang bahwa memakai wewangian adalah sunnah nabi, maka tidak heran jika industri parfum berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam sekitar abad ke-8 sampai 12 M. Saat ini kita bisa menyaksikan gerai-gerai yang menjual perlengkapan ibadah Umat Islam selalu terpajang aneka jenis parfum dengan wangi yang berbeda.

Parfum dan Etika Sosial Umat Islam

Anjuran menggunakan parfum bagi Umat Islam tidak hanya untuk kepentingan ibadah semata, bahkan lebih dari itu. Islam sangat menghargai dan menghormati orang lain. Sunnahnya memakai parfum ketika hendak pergi shalat Jum'at, mengisyaratkan bahwa Umat Islam harus menjaga perasaan orang lain; jangan sampai bau badan kita mengganggu penciuman orang lain di sekitar kita.

Tidak hanya sunnah menjaga penciuman orang lain dengan menggunakan parfum, Islam juga melarang mengganggu penciuman orang lain dengan bau mulut atau bau badan kita.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya memakan makanan yang menimbulkan bau mulut, atau bau badan ketika hendak beribadah.

Contoh makanan yang bisa menimbulkan bau diantaranya: bawang, daun bawang, pete, jengkol dan lain sebagainya yang bisa mengganggu orang lain ketika beribadah.

Kedua hal di atas (memakai parfum dan tidak memakan makanan yang menimbulkan bau) merupakan prinsip dasar dalam beragama dan dalam kehidupan sosial. 

Jika prinsip ini (menjaga penciuman orang lain) diaplikasikan pada pergaulan sehari-hari, maka alangkah indahnya kehidupan ini.

Menjaga penciuman orang lain berarti juga tidak merokok sembarangan, atau makan duren sendirian dan semua hal yang akan mengganggu penciuman orang lain.

Menjaga penciuman orang lain berarti juga menjaga perasaan orang lain. Termasuk menjaga pendengaran orang lain, dengan tidak menggunakan knalpot brong salah satunya.

Apakah semua jenis parfum boleh untuk digunakan?

Jika prinsipnya adalah menjaga penciuman orang lain dan agar mereka nyaman, maka tidak semua parfum bisa digunakan. Sebab terkadang ada jenis parfum yang aromanya kuat dan mengganggu, bahkan pada beberapa orang mungkin bisa menyebabkan pusing atau mual.

Jadi gunakanlah parfum yang lembut dengan aroma yang menenangkan atau yang bisa memperbaiki mood.

Bagi Umat Islam parfum tidak hanya sebagai identitas diri, tapi bisa menjadi ladang amal kebaikan. Mengikuti sunnah Nabi dan membuat orang lain senang adalah bentuk ibadah jika dilakukan dengan ikhlas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun