Kelima, kitab Muqaddimah karya ibnu Khaldun pertama kali diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ahmadie Thoha pada tahun 1980 saat umurnya 21 tahun. Proses penerjemahan kitab Muqaddimah berlangsung selama 4 tahun, dari tahun 1981 - 1985. Ahmadie Thoha mengaku harus menelaah banyak referensi untuk menerjemahkan karya yang monumental ini.
Keenam, Di bab ke enam pada pasal ke-13 ketika membicarakan tentang Ilmu Pengetahuan, ibnu Khaldun menyinggung filsafat Stoikisme.
Tradisi pengajaran kaum stoik, berdasarkan klaim mereka dimulai dari Lukmanul Hakim (kisahnya ada dalam Al Qur'an) yang menurun kepada muridnya, Socrates; Lalu ke muridnya, Plato; lalu ke muridnya, Aristoteles; lalu ke muridnya, Alexander dan yang lainnya.
Ketujuh, ketika membahas tentang Ilmu Hitung, ibnu Khaldun menulis: “Dalam sebuah nasihat dikatakan, barangsiapa yang membiasakan diri mempelajari ilmu berhitung pada awal belajarnya, maka biasanya ia akan selalu berkata jujur dan benar. Sebab dalam ilmu hitung terdapat kerangka keilmuan yang baik dan benar dan mendidik jiwa manusia untuk beretika.
Dengan ini, maka diharapkan orang tersebut akan membiasakan diri dalam kejujuran dan berada dalam garis kebenaran.”
Kedelapan, ketika menjelaskan tentang Ilmu Teknik, ibnu Khaldun menulis:
“Ketahuilah bahwa ilmu teknik sangat potensial untuk mencerahkan akal dan meluruskan pemikiran. Sebab pembuktian-pembuktiannya sangat jelas, teratur, dan berurutan. Hingga bisa dikatakan hampir tidak ada kesalahan yang menodai analoginya karena berurutan dan keteraturannya.
Dengan membiasakan pemikiran semacam ini, maka pikiran tersebut akan terjaga dari kesalahan sehingga menciptakan akal yang cemerlang bagi pelakunya.”
Kesembilan, berbeda dengan aliran Machiavelli (Machiavellisme) yang mana politik dan kekuasaan dibangun secara liberal dan terbebas dari nilai moral, tidak peduli apakah kekuasaan dan politik yang dijalankan itu bermuatan trik-trik politik, tipu daya jujur atau tidak jujur asalkan tujuan tercapai. Machiavelli menganggap bahwa kekuasaan adalah alat untuk mengabdi pada kepentingan negara, bukan untuk mengabdi pada kebajikan dan keadilan.
Ibnu Khaldun menawarkan konsep politik dan kekuasaan yang bermuara dari pemahaman bahwa kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanah dari Allah, dalam rangka implementasi undang-undang-Nya bagi segenap manusia untuk kemaslahatan.
Membantu yang lemah, merangkul semua pihak, menjunjung tinggi hukum, mendengar aspirasi, berprasangka baik terhadap pemeluk agama, menghindari tindakan makar dan lain-lain, adalah cermin etika politik yang semestinya menjadi pijakan praktis dalam setiap tindakan politik.