Teman saya yang bekerja di sebuah perusahaan Internasional menyatakan, bahwa Gen Z (bawahannya) ini rapuh, dari segi mental; susah diarahkan dan enggan untuk bekerja keras. Mereka juga tidak bisa lepas dari gadget.
Itu secuil pengalaman teman saya ketika berinteraksi dengan Gen Z saat bekerja. Ilustrasi di atas tidak bisa mewakili Gen Z seluruhnya, sebab hanya berupa pernyataan tanpa data dari seseorang yang membawahi satu bagian kecil di sebuah perusahaan. Sedangkan di Indonesia banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan karyawan dari Generasi Z.
Lain halnya dengan cerita rekan kerja saya, ia Gen Z tapi tidak mau disebut Gen Z. Ia tidak mau dicap sebagai pribadi yang malas dan manja. Untuk merubah stigma negatif tersebut ia pun sering gabung dengan generasi di atasnya, kaum milenial. Berbincang berbagai topik khas kaum Milenial. Pernah ia bertanya: "Apa sih yang kaum milenial lakukan ketika belum ada handphone?"Â
Pertanyaan diatas bukan tanpa alasan.
Suatu hari rekan kerja saya ini bercerita, bahwa dirinya pernah merasa cemas, galau dan stress; tidur pun gelisah, tidak nyenyak. Setelah berpikir dan ditelusuri ternyata media sosial pemicunya, kemudian ia pun memutuskan untuk berhenti ber-medsos atau puasa medsos.Â
Kurang lebih satu bulan ia tidak membuka media sosial, bahkan aplikasi-aplikasi seperti instagram dan facebook ia hapus. Hasilnya luar biasa, ia menceritakan bahwa dirinya jauh lebih baik dan bahkan ia lebih bisa mengontrol diri atas penggunaan gadget. Kini sedikit banyaknya ia mengerti makna hidup dan ke arah mana ia menuju.
Gen Z, siapa mereka?
Generasi Z atau Gen Z adalah mereka yang terlahir antara tahun 1997 hingga 2012. Disebut demikian karena mereka terlahir setelah Generasi Y atau generasi milenial yang lahir antara tahun 1977-1994. Gen  Z lahir seiring berkembangnya teknologi informasi digital, internet dan media sosial.Â
Mereka sejak lahir telah terbiasa dengan media sosial, hingga tidak heran jika kita (kaum milenial) menyebutnya kecanduan gadget. Tidak salah juga sih, justru itulah kelebihan mereka.Â
Mengapa Gen Z dinilai sebagai generasi malas dan manja?
Stigma negatif tersebut didasari oleh beberapa hal, diantaranya:
-
Ketergantungan mereka pada teknologi:Â Berbeda dengan generasi sebelumnya yang terbiasa main di alam. Generasi Z mainnya dengan teknologi dan sebagian besar waktunya dihabiskan di depan layar. Hal ini membuat mereka tidak aktif dan terlihat malas.Â
- Baca juga: Tes Bakat, Perlukah?
Kurang disiplin: Generasi Z dibesarkan di era yang penuh dengan kemudahan dan akses serba instan. Hal ini membuat mereka kurang disiplin, tidak mau kerja keras dan gampang menyerah.
Sikap individualis: Generasi Z lebih fokus pada diri sendiri dan pencapaian pribadi daripada bekerja sama dengan orang lain. Hal ini dapat membuat mereka terlihat egois dan tidak peduli dengan orang lain.
Namun, stigma ini tidak sepenuhnya benar. Ada banyak Gen Z yang telah sukses di dunia yang mereka geluti. Sebut saja misalnya: Muhammad Akbar Maulana, Amanda Manopo, Fadli Maulana Ibrahim dan masih banyak yang lainnya. Sebenarnya Gen Z memiliki banyak potensi dan bakat yang belum mereka gali. Mereka adalah generasi yang kreatif, inovatif, dan pandai beradaptasi.
Lalu, apa yang harus mereka lakukan untuk menghapus stigma negatif tersebut?
Berikut adalah beberapa hal yang bisa Gen Z lakukan untuk menghapus stigma malas dan manja:
1. Buktikan dengan Tindakan:
Di tempat kerja: Buktikan dengan komitmen dan dedikasi tinggi dalam pekerjaan. Ambil inisiatif dan selesaikan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Di masyarakat dan lingkungan sosial: Berkontribusi pada komunitas dan bantu orang lain yang membutuhkan. Hal ini membuktikan bahwa Gen Z peduli dengan orang lain dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Di rumah dan kehidupan pribadi: Belajarlah untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Lakukan tugas-tugas rumah tangga dan masak makanan sendiri, dan belajar mengelola keuangan dengan bijak.
2. Ubah Persepsi:
Gunakan media sosial dengan bijak: Gunakan media sosial untuk terhubung dengan orang lain dan ambil ilmu serta pengalaman dari mereka, bukan untuk pamer atau bersenang-senang.
Berbagi cerita positif: Bagikan kisah-kisah inspiratif yang bisa memotivasi kesuksesan dan prestasi.Â
Berkomunikasi dengan terbuka: Berbicaralah dengan orang tua, guru, dan mentor tentang stigma negatif yang dihadapi Gen Z. Carilah solusi bersama untuk mengatasi stigma tersebut.
3. Gen Z harus berkolaborasi:
Bekerjasamalah dengan orang lain: Generasi Z harus belajar untuk bisa bekerja sama dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat menunjukkan bahwa Gen Z pun mampu bekerja sama dan tidak egois.
Bangun komunitas: Bentuklah komunitas, online maupun  offline untuk Generasi Z agar bisa saling mendukung dan berbagi pengalaman.
Bekerja sama dengan generasi lain: Berkolaborasilah dengan generasi lain untuk belajar dari pengalaman dan keahlian mereka.
4. Pendidikan dan Kesadaran:
Tingkatkan edukasi tentang Generasi Z: Perlu adanya edukasi kepada masyarakat umum tentang Generasi Z. Hal ini dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang Generasi Z.
Meningkatkan kesadaran tentang stigma: Gen Z harus sadar akan stigma negatif yang mereka hadapi dan bagaimana cara mengatasinya.
Mendukung program yang membantu Generasi Z: Perlu adanya program yang mendukung dan membantu Generasi Z untuk mengembangkan keterampilan, potensi dan bakat mereka.
Dengan tindakan nyata serta menggunakan teknologi informasi dan media sosial secara bijak, maka akan mengubah stigma negatif terhadap Generasi Z.
Menghapus stigma malas dan manja adalah tugas yang tidak mudah. Namun, dengan kemauan, kerja sama dan usaha dari Gen Z itu sendiri, lambat laun stigma negatif tersebut dapat dihapus, dan Generasi Z bisa membuktikan kepada dunia bahwa mereka adalah generasi yang tangguh, kreatif, dan inovatif.
Terima kasih sudah membaca.
Salam perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H