Isu ini menjadi krusial, sebab selain salah satu dari amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan terhadap WNI, pemulangan mereka dari Negara yang terkena konfllik bukanlah sebuah hal yang mudah, karena kita paham bahwa selain pencarian rute yang aman, penentuan tempat evakuasi sementara, pemenuhan kebutuhan logistik di tengah ketidakpastian keamanan, merupakan tantangan tersendiri bagi personalia Perwakilan kita di wilayah yang telah terdampak seperti Lebanon, atau wilayah yang berpotensi terdampak seperti Suriah, Yordan dan Iran tentunya.
 Banyaknya jumlah WNI di Negara-negara tersebut juga menambah kompleksitas proses evakuasi.
Misalnya saja dalam proses pemulangan WNI dari Beirut, sebagaimana dituturkan oleh Saudara Audi salah satu mahasiswa Indonesia di Beirut yang ikut dalam evakuasi, bahwa mereka harus menempuh jalur perjalanan darat dari Beirut menuju ke Damaskus kemudian menuju Amman untuk menunggu penerbangan dari ibukota Yordania tersebut. Proses evakuasi ini pun harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan dalam waktu yang sangat sempit.Â
Ditambah lagi ketidakpastian keamanan jalur darat dan sulitnya mencari moda transportasi, akomodasi serta fasilitas kesehatan yang memadai selama proses evakuasi. Setelah proses evakuasi, tantangan selanjutnya adalah memberikan kepastian bagi para WNI yang telah berhasil dipulangkan, misalnya bagi status mereka sebagai mahasiwa yang tengah menempuh studi di Negara konflik, Pemerintah harus menjamin keberlanjutan studi mereka sepulangnya ke tanah air.
Selain evakuasi, eskalasi perang Iran-Israel juga akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian imbas melonjaknya harga minyak dunia. Sebagaimana diketahui, Iran adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia dengan cadangan 16.8% dari total cadangan minyak mentah menurut Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).Â
Selain itu, sebagian besar cadangan minyak dunia juga bertempat di wilayah Timur Tengah. Melansir dari website OPEC, sebanyak 79,1% (1.241,33 miliar barel) dari cadangan minyak mentah dunia yang dimiliki Negara-negara Anggota OPEC, sebesar 67,3% nya berada di kawasan Timur Tengah.
Meskipun banyak ekonom yang menilai bahwa harga minyak mentah tidak terdampak olek eskalasi konflik karena cukupnya persediaan minyak global, namun faktanya hari per hari ini harga perdagangan minyak dunia tetap saja merangkak naik. Brent naik 64 sen atau 0,87 persen menjadi US$74,54 per barel (CNN Indonesia 05/10). Bahkan jika Israel menyerang tambang minyak Iran, harga minyak dunia kemungkinan dapat melonjak diatas US$100 per barel, sebagaimana mengutip analisa CNN Business (03/10).
Tentu saja kenaikan harga minyak dunia tersebut akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia sebagai negara pengimpor minyak bumi dan BBM. Berdasarkan website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sepanjang tahun 2023 telah mengimpor sebanyak 297 juta barel minyak yang terdiri dari 129 juta barel minyak mentah dan 168 juta barel Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dengan ketergantungan yang tinggi ini, kenaikan harga minyak dunia akan menambah beban anggaran negara dan pembengkakan alokasi subsidi, belum lagi jika diperparah dengan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Akibatnya jelas, inflasi pada sektor transportasi dan industri barang-barang yang membutuhkan BBM tidak dapat dihindari.Â
Sementara disisi lain, upaya pemberian subsidi BBM juga dinilai tidak efektif dalam upaya penghematan anggaran Negara. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Pemerintah Minggu ini telah melontarkan wacana pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini tentu akan menurunkan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai kesimpulan, eskalasi konflik Iran-Israel dinilai akan memiliki dampak yang multidimensi, khususnya bagi keselamatan WNI dan keberlanjutan studi mahasiswa Indonesia di Lebanon dan Iran, dampak selanjutnya adalah inflasi  pada sektor transportasi dan industri yang membutuhkan BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia.Â