Mohon tunggu...
Miftahuddin
Miftahuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - The University of Sydney

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana dan anggota Sydney Southeast Asia Centre, Australia. Aktif mengkaji isu-isu seputar politik dan agama, realitas sosial serta dinamika perpolitikan Timur Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Iran dan Israel Memanas, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

6 Oktober 2024   22:21 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:28 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: CNBC Indonesia

Selasa malam (01/10) kita dikejutkan dengan serangan Iran yang mampu menembus pertahanan Iron Dome Israel. Dalam serangan ini, Iran menghadiahi Israel dengan sekitar 200 rudal hypersonik al-Fattah ke sejumlah wilayah di Tel Aviv. Serangan yang dikatakan oleh Presiden Iran ini sebagai "respon tegas" Iran telah menerangi langit Tel Aviv seperti tengah terjadi pesta kembang api di malam itu.

Serangan tersebut oleh sebagian pengamat dapat dipahami bahwa Iran memang telah habis kesabarannya lantaran serangan yang telah dilakukan Israel secara bertubi-tubi. Pertema serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus pada 1 April lalu yang menewaskan delapan pasukan Garda Revolusi Iran, kemudian serangan di Teheran yang menewaskan Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh akhir Juli (31/07), serta serangan di Beirut yang menewaskan Hassan Nasrallah Sekjen ketiga Hizbullah Lebanon, kepanjangan tangan Iran di Lebanon pada akhir September (27/09).

Atas serangan tersebut, Netanyahu mengatakan bahwa Iran akan mendapatkan konsekuensi balasan dari Israel dalam waktu segera. Namun hingga saat ini, Israel tidak, atau belum merespons apapun. Pengamat menilai hal tersebut karena AS yang menjadi supporter terbesar Israel belum secara konkret merestui serangan balik Israel. Meskipun Biden telah menjanjikan dukungan sepenuhnya bagi Israel, namun ia belum menjabarkan langkah konkret apa yang akan diambilnya.

Dalam konteks geopolitik global, kita memahami bahwa AS akan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Biden tentunya lebih paham bahwa sekecil apapun keputusan AS terhadap perang Iran-Israel tentu dapat menimbulkan peningkatan eskalasi konfllik yang pada ujung-ujungnya, dan dalam waktu yang tidak lama, akan memukul balik stabilitas perekonomian AS, apalagi saat ini AS tengah  bersiap-siap mengadakan Pilpres pada awal November mendatang. 

Kenaikan harga barang dan sentimen buruk akibat eskalasi bisa saja melekat pada Pemerintahan Biden di akhir masa jabatannya, sebuah kondisi yang sangat dihindari Biden, khususnya pada masa Pilpres, terlebih dengan majunya Kamala Harris, Wapres Biden sebagai Capres mendatang.

Lalu bagaimana jika Israel membalas serangan Iran? Perang berjilid-jilid sangat mungkin dapat terjadi, dan jika memang harus terjadi, instabilitas politik dan ekonomi di kawasan tidak dapat terhindarkan lagi. Apalagi Jumat kemarin (04/10), Pemimpin tertinggi Iran Khamenei dalam Khutbah Jumatnya mengatakan bahwa Serangan Teheran terhadap Tel Aviv merupakan balasan "paling ringan bagi rezim Zionis" ini. 

Nampaknya tidak berlebihan jika kita berharap agar AS tidak perlu menuruti ambisi Israel untuk menjerumuskannya dalam konflik lebih jauh, sebab, selain akan menghadapi Pilpres, AS juga memiliki isu sendiri yang tak kalah pentingnya bagi kemashlahatan mereka yaitu trade war dengan Tiongkok dan perang kekuatan dengan Rusia.

Namun demikian, jika situasi terus memburuk, apalagi menyebabkan terjerumusnya Timur tengah dalam perang regional, bukan hal yang mustahil jika Indonesia juga akan menerima dampak negatifnya baik secara langsung maupun tidak, diantaranya adalah persoalan evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di wilayah yang terdampak, kenaikan harga kebutuhan dalam negeri imbas melonjaknya harga minyak dunia serta hubungan Indonesia dengan AS. 

Meskipun hal terakhir dinilai tidak akan terlalu berdampak signifikan, namun posisi Pemerintah Indonesia akan menjadi hal penting yang dapat saja mewarnai dinamika hubungan Indonesia-AS.

Meskipun kita menduga AS dan sekutunya tidak akan turut campur secara berlebihan dalam perang tersebut sebagaimana disinggung diatas, namun juga tidak menutup kemungkinan jika AS dan sekutu juga akan ikut mengambil andil besar dalam membantu Israel secara militer atas dasar legitimasi perlawanan terhadap Iran dan Hamas.

Lalu bagaimana dampaknya apabila eskalasi ini terus meningkat? Perlindungan terhadap WNI adalah isu paling krusial jika perang regional tidak dapat dihindari. Kita sudah mendengar pernyataan dari Kementerian Luar Negeri RI mengenai kesiapan penuh Perwakilan RI dalam melakukan proses evakuasi terhadap WNI yang berada di wilayah yang ditengarai akan terkena imbas konflik. 

Isu ini menjadi krusial, sebab selain salah satu dari amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan terhadap WNI, pemulangan mereka dari Negara yang terkena konfllik bukanlah sebuah hal yang mudah, karena kita paham bahwa selain pencarian rute yang aman, penentuan tempat evakuasi sementara, pemenuhan kebutuhan logistik di tengah ketidakpastian keamanan, merupakan tantangan tersendiri bagi personalia Perwakilan kita di wilayah yang telah terdampak seperti Lebanon, atau wilayah yang berpotensi terdampak seperti Suriah, Yordan dan Iran tentunya.

 Banyaknya jumlah WNI di Negara-negara tersebut juga menambah kompleksitas proses evakuasi.

Misalnya saja dalam proses pemulangan WNI dari Beirut, sebagaimana dituturkan oleh Saudara Audi salah satu mahasiswa Indonesia di Beirut yang ikut dalam evakuasi, bahwa mereka harus menempuh jalur perjalanan darat dari Beirut menuju ke Damaskus kemudian menuju Amman untuk menunggu penerbangan dari ibukota Yordania tersebut. Proses evakuasi ini pun harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan dalam waktu yang sangat sempit. 

Ditambah lagi ketidakpastian keamanan jalur darat dan sulitnya mencari moda transportasi, akomodasi serta fasilitas kesehatan yang memadai selama proses evakuasi. Setelah proses evakuasi, tantangan selanjutnya adalah memberikan kepastian bagi para WNI yang telah berhasil dipulangkan, misalnya bagi status mereka sebagai mahasiwa yang tengah menempuh studi di Negara konflik, Pemerintah harus menjamin keberlanjutan studi mereka sepulangnya ke tanah air.

Selain evakuasi, eskalasi perang Iran-Israel juga akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian imbas melonjaknya harga minyak dunia. Sebagaimana diketahui, Iran adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia dengan cadangan 16.8% dari total cadangan minyak mentah menurut Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). 

Selain itu, sebagian besar cadangan minyak dunia juga bertempat di wilayah Timur Tengah. Melansir dari website OPEC, sebanyak 79,1% (1.241,33 miliar barel) dari cadangan minyak mentah dunia yang dimiliki Negara-negara Anggota OPEC, sebesar 67,3% nya berada di kawasan Timur Tengah.

Meskipun banyak ekonom yang menilai bahwa harga minyak mentah tidak terdampak olek eskalasi konflik karena cukupnya persediaan minyak global, namun faktanya hari per hari ini harga perdagangan minyak dunia tetap saja merangkak naik. Brent naik 64 sen atau 0,87 persen menjadi US$74,54 per barel (CNN Indonesia 05/10). Bahkan jika Israel menyerang tambang minyak Iran, harga minyak dunia kemungkinan dapat melonjak diatas US$100 per barel, sebagaimana mengutip analisa CNN Business (03/10).

Tentu saja kenaikan harga minyak dunia tersebut akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia sebagai negara pengimpor minyak bumi dan BBM. Berdasarkan website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sepanjang tahun 2023 telah mengimpor sebanyak 297 juta barel minyak yang terdiri dari 129 juta barel minyak mentah dan 168 juta barel Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dengan ketergantungan yang tinggi ini, kenaikan harga minyak dunia akan menambah beban anggaran negara dan pembengkakan alokasi subsidi, belum lagi jika diperparah dengan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Akibatnya jelas, inflasi pada sektor transportasi dan industri barang-barang yang membutuhkan BBM tidak dapat dihindari. 

Sementara disisi lain, upaya pemberian subsidi BBM juga dinilai tidak efektif dalam upaya penghematan anggaran Negara. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Pemerintah Minggu ini telah melontarkan wacana pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini tentu akan menurunkan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sebagai kesimpulan, eskalasi konflik Iran-Israel dinilai akan memiliki dampak yang multidimensi, khususnya bagi keselamatan WNI dan keberlanjutan studi mahasiswa Indonesia di Lebanon dan Iran, dampak selanjutnya adalah inflasi  pada sektor transportasi dan industri yang membutuhkan BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia. 

Sebagai Negara yang memperjuangkan terciptanya perdamaian abadi, peran aktif Indonesia untuk meyakinkan dunia, kepada AS secara khusus, agar tidak terlibat lebih jauh dalam menuruti ambisi Israel untuk melakukan ethnic cleansing di Palestina, akan sangat diharapkan.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana dan Anggota Sydney Southeast Asia Centre the University of Sydney, Australia.
E-mail: mift0849@uni.sydney.edu.au

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun