Abram meraih ponsel, sambil melonggarkan dasinya ia menelepon Amel.
"Yaang, bisa siapkan baju ganti, untukku? Pak Ikhsan memintaku menemaninya meninjau proyek di Semarang dalam dua tiga hari mendatang."
Sejurus kemudian ...
"Makasih, Sayangkuu!" serunya riang.
Yees, kali ini Amel tak rewel dengan pertanyaan pertanyaan yang tak perlu. Ia menjawab seperlunya, selebihnya hanya meng-iya-kan permintaan suaminya.
~•~•~•~•~
Kekhawatiran pelan-pelan merambati hati Amel. Kepergian Abram kali ini, menyisakan ketakutan yang luar biasa.
Bukan. Ia tak takut kehilangan. Ia tak takut melepas suaminya pergi. Tapi ada sesuatu yang mulai mengusik hati, membuatnya merasa tak nyaman. Amel hanya bisa bergulingan di ranjang, susah memejamkan mata.
Ini malam kedua Abram menginap. Sejak sore, ponselnya susah dihubungi. Amel merutuki dirinya sendiri, kenapa tak menanyakan dimana suaminya itu menginap.
"Duuuhh ... Kenapa aku lupa yaa? Kemarin terlalu was was," gumamnya.
Beberapa kali ia menengok ke arah nakas di sebelah, tapi ponselnya hanya tergeletak. Diam. Tanpa ada pertanda apapun.