pada sesobek kertas
usang
kutuliskan harap
yang tak ingin meredup
Â
bila kah
kutemui lagi RamadhanMu
dalam simpuh dan lafadz penuh seluruh
doa dan pengampunan
beri aku waktu, lagi
Â
==========
Â
Widhanto menarik nafasnya perlahan. Seakan ingin dipenuhinya paru paru dengan udara yang dihirupnya. Ia masih menyimpan resah. Yang ditunggunya sejak semalam, tak juga menampakkan batang hidungnya.
Suara klakson mobil di kelokan jalan membuatnya mendongak. Penuh semangat, diperhatikannya mobil yang bergerak perlahan mendekat ke arah rumahnya. Ditunggunya hingga mobil itu benar-benar berhenti.
"Mas Gatot .....," dipeluknya kakak sepupunya itu penuh syukur.
"Ayoo....masuk...masuk," sambungnya kemudian. Setengah mendorong, Widhanto mengajak tamunya masuk ke rumah.
"Gimana hasilnya mas? Ketemu Nurina? Apa katanya?" Widhanto tak sabar menunggu. Gatot tertawa melihat raut wajah adik sepupunya yang tak sabaran ini.
"Sabaaar..... Belum juga duduk tenang, udah main berondong aja...." sahutnya sambil terus tertawa.
"Habiiiss .... Mas Gatot sengaja mengulur-ulur sii," sungut Dhanto.
"Gini ......," Gatot segera memperbaiki posisi duduknya. Ia mengeluarkan sebendel surat yang sama seperti yang ditinggalkannya di rumah Nurina kemarin malam. Sambil menjelaskan kejadiannya panjang lebar, Gatot membukai bendel itu lembar demi lembar. Widhanto mengangguk, tersenyum meski getir.
"Kenapa? Kau menyesal telah mengirimku ke sana?" tanya Gatot menyelidik.
"Entahlah mas. Aku tidak tahu apa harus menyesal ataukah senang ....," jawab Widhanto lesu.
"Masih ada waktu untuk meralat atau membatalkan, Dhanto." Gatot menepuk pundak adik sepupunya. "Menyesal sekarang jauh lebih baik dibanding nanti.
"Tapiiii ...... Aku sudah berjanji pada Nurina. Di sepertiga bulan, aku akan datang untuknya. Mewujudkan mimpi yang pernah kami bicarakan bersama ....."
"Oke. Sekarang mas pamit dulu. Sayekti sudah miscall miscall dari tadi. Kasian dia, kutinggalkan di rumah sendirian." Gatot beranjak sambil meraih kunci mobilnya.
Widhanto mengantar kakak sepupunya hingga ke mobil. Memandanginya hingga mobil itu menghilang di kelokan jalan.
==========
Â
Sambil memegangi pinggangnya yang nyeri menggigit, Widhanto mengeluarkan berkas lain dari laci meja kerjanya. Dibukanya sebuah amplop putih tebal berukuran besar dengan logo salah satu rumah sakit terkenal di Jogja. Dicermatinya satu persatu kertas kertas itu. Meski sudah berulang kali dibaca, tetap saja Widhanto deg-degan karenanya.
Sirosis hati .... gumamnya sambil mengeja. Diingat-ingatnya kapan terakhir kali ia pergi ke rumah sakit untuk medical check up. Tahun kemarin, kemarin dulu atau kapan tahun? Sungguh, ia tak bisa mengingatnya lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu.
Enam atau tujuh tahun yang lalu, Widhanto pernah menderita penyakit hepatitis. Sepulang dari perjalanan ke Jawa Timur ia ambruk. Tubuhnya panas tinggi, menggigil, keringat dingin, mual, sesekali muntah. Obat penurun panas yang diminumnya tak memberi efek yang memuaskan. Panas tubuhnya hanya mereda sebentar, lalu kembali lagi.
Dokter yang dikunjunginya telah meresepkan obat, yang harus dihabiskannya karena mengandung antibiotik. Namun panas tubuhnya tak kunjung sembuh. Beberapa kali ia harus datang ke laborat, untuk check darah dan urine.
Hasilnya? Ia harus beristirahat total. Nggak boleh makan makanan yang digoreng, mengandung lemak, kurangi garam, gula dan seabrek larangan lainnya.
Opname di rumah sakit? Widhanto tak mau. Ia takut jarum suntik. Ia takut dokter. Sesuatu yang membuatnya jadi bahan olok-olokan bila berkumpul bersama teman-temannya.
Mungkinkah ini akibat dari sakit yang dideritanya dahulu? Pengobatan yang tak sempurna, gaya hidupnya yang berantakan? Atau kah ada sebab lain? Entahlah. Ia tak benar benar mengerti.
"Melamun aja kerjanya .....," sebuah tepukan di pundak membuat Widhanto terlonjak.
"Mas Yudha?" sahutnya riang. Dipeluknya kakak kembarnya ini erat-erat. Seolah ingin dibaginya kesedihan yang disimpannya ini dengan kakaknya.
"Kenapa dengan pinggangmu? Sejak tadi kau pegangi terus ..... Kambuh lagi?" tanya Yudha khawatir.
"Sepertinya ....," jawab Dhanto lesu.
"Sudah ke dokter? Apa katanya?"
Widhanto menyodorkan hasil lab terakhir ke hadapan Yudha.
"Separah inikah?" tanyanya. Dahinya mengerenyit. Sedih dan prihatin campur aduk.
Widhanto merebahkan tubuhnya di tempat tidur samping meja kerjanya. Wajahnya terlihat lelah dan putus asa.
Â
"Mas Yudha bisa bantu aku?" tanyanya pelan.
"Kalau aku bisa ..... Katakan saja," jawab Yudha setelah lama terdiam. Tak ada jawaban.
Â
Â
==========b e r s a m b u n g==========
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H